Sabtu, 04 Juli 2009

DOA, DZIKIR, DAN ISTIGHFAR

Pertama, doa adalah ibadah, bahkan merupakan inti ibadah, berdasarkan firman Allah:

Dan Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Kuperkenankan bagimu. Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri dari ibadah kepada-Ku akan masuk neraka Jahannam dalam keadaan hina dina”. (TQS. Ghâfir [40]: 60)

Dalam ayat ini Allah menjadikan doa sebagai ibadah. Allah menyebutkan doa dengan ungkapan “Ibadah kepada-Ku” setelah menyatakan “Berdoalah kepada-Ku”. Apa yang diungkapkan dalam ayat ini persis seperti sabda Rasulullah saw.:

Doa adalah inti ibadah. (at-Tirmidzi mengeluarkan hadits ini dari Nu’man bin Basyir. Ia berkata, “Hadits ini hasan shahih”)

Jadi doa adalah ibadah, dan Allah sangat mencintai hamba- Nya yang berdoa kepada-Nya. Berdoa hukumnya sunah. Barangsiapa tidak berdoa kepada Allah berar ti ia telah meninggalkan kebaikan yang banyak. Jika seorang hamba tidak berdoa karena sombong, maka ia termasuk golongan yang di sebutkan Allah dalam firman-Nya:

(Mereka) akan masuk neraka jahannam dalam keadaan hina dina. (TQS. Ghâfir [40]: 60).

Termasuk ke dalam pengertian “dâkhirin” pada ayat ini adalah orang-orang yang hina, rendah, dan dihinakan. Kedua, Allah telah menjelasklan agar kita berdoa kepada- Nya, disertai dengan memenuhi seruan-Nya, terikat dengan syariat- Nya, dan mengikuti Rasul-Nya. Allah berfirman:

Dan hendaklah kamu memenuhi seruan-Ku dan berimanlah kepada-Ku agar kamu mendapatkan petunjuk” (TQS al-Baqarah [2]: 186)
.
Hal ini dijelaskan oleh Rasulullah saw. dengan sabdanya: Ia berdoa kepada Allah, tapi makanan dan minumannya dari barang yang diharamkan, maka bagaimana mungkin akan dikabulkan doanya. (HR. Muslim).

Waktu yang paling utama untuk berdoa adalah di saat sujud, di tengah malam, dan setelah shalat wajib.

Dari Abû Hurairah riwayat Muslim, bahwa Rasulullah saw. bersabda: Posisi seorang hamba yang paling dekat dari Tuhannya ialah pada saat ia sujud, maka perbanyaklah doa ketika itu.

Dari Abû Umamah, riwayat at-Tirmidzi, ia berkata, “Hadits ini hasan shahih.” Abû Umamah berkata, “Pernah ditanyakan kepada Rasulullah saw., doa manakah yang paling didengar oleh Allah?” Rasulullah saw. bersabda: Doa di tengah malam dan setelah shalat wajib.
Begitu juga berdoa di bulan Ramadhan mempunyai pahala yang sangat besar. At-Tirmidzi telah mengeluarkan sebuah hadits, ia berkata, “Hadits ini hasan.” Sesungguhnya Rasulullah saw. bersabda: Ada tiga orang yang doanya tidak akan di tolak, yaitu orang yang shaum hingga buka, imam yang adil, dan doa orang yang dizhalimi. Allah akan mengangkat doanya hingga ada di atas awan dan akandibukakan baginya pintu-pintu langit. Dan Allah pun berfirman,
“Demi kemuliaan-Ku, sungguh Aku akan menolongmu kapan saja.”

Ketiga, keberadaan doa sebagai suatu ibadah tidak berartibahwa kita boleh meninggalkan hukum kausalitas. Sirah Rasulullah saw. adalah bukti yang nyata akan hal ini. Sebagai contoh, Rasulullah saw. telah menyiapkan pasukan untuk perang Badar. Beliau mengatur pasukan masing-masing di tempatnya. Beliau juga telah menyiapkan mereka dengan persiapan yang baik. Kemudian setelah itu beliau masuk ke bangsalnya seraya meminta pertolongan kepada Allah. Beliau pada saat itu banyak sekali berdoa, hingga Abû Bakar berkata, “Wahai Rasulullah!, sebagian dari doamu ini telah cukup.” Rasulullah saw. ketika diperintahkan untuk hijrah dari Makkah ke Madinah, beliau telah melakukan sebab-sebab yang mungkin dilakukan, yang bisa mengantarkan pada keselamatan. Pada saat yang sama, beliau juga berdoa kepada Allah untuk kekalahan kafir Quraisy, agar Allah memalingkan mereka dari beliau dan menyelamatkannya dari makar mereka, ser ta
menyampaikannya ke Madinah dengan selamat.

Pada saat itu Rasulullah saw. memilih untuk menghadap ke arah selatan dari pada ke arah utara menuju Madinah. Kemudian beliau bersembunyi di gua Tsur bersama Abû Bakar ra. Di gua Tsur itu beliau senantisa menerima berita dari Abdurrahman bin Abû Bakar tentang kaum Quraisy, rencana-rencana mereka, dan apa-apa yang mereka pikirkan untuk mencelakai beliau saw. Kemudian ketika Abdurrahman bin Abû Bakar kembali ke Makkah, ia diperintahkan untuk berjalan sambil menuntun kambing di belakangnya. Tujuannya agar bekas kaki kambing tersebut menghapus bekas kaki Abdurrahman bin Abû Bakar, untuk
mengecoh kafir Quraisy. Rasulullah saw. tinggal di gua Tsur selama tiga hari sampai upaya pencarian beliau tidak dilakukan lagi dengan gencar. Setelah itu beliau meneruskan perjalanan ke Madinah. Rasul saw. melakukan semua itu, meskipun yakin bahwa beliau akan sampai ke Madinah dengan selamat. Hal ini bisa dibuktikan dari jawaban beliau kepada Abû Bakar yang merasa khawatir ditangkap oleh kafir Quraisy ketika mereka ada persis di depan gua Tsur. Abû Bakar berkata, “Jika salah seorang dari mereka melihat tempat berpijak kedua kakinya niscaya ia akan melihat kita.” Maka Rasulullah saw. berkata kepada Abû Bakar: Jangan kau kira kita hanya berdua. Allah adalah yang ketiga. Allah berfirman:
Maka sesungguhnya Allah telah menolongnya (yaitu) ketika orangorang kafir (musyrikin Makkah) mengeluarkannya (dari Makkah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya, “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita.” (TQS. at- Taubah [9]: 40)

Ketika Rasulullah saw. dan Abû Bakar hampir disusul oleh Surokoh dalam perjalanan hijrahnya; Surokoh ingin menangkap Rasulullah saw. karena tergiur oleh bayaran yang disediakan oleh kaum Quraisy. Beliau berkata kepada Surokoh agar pulang dan
baginya gelang kisra. Jadi, Rasulullah saw. beraktivitas dengan menggunakan kaidah kausalitas agar kita mengikutinya. Pada saat beliau berdoa, bermunajat kepada Allah agar diselamatkan dari kejaran kafir Quraisy dan agar Allah menolak makar mereka dengan membinasakan mereka; Rasul saw. pun keluar dari rumahnya di waktu malam dan mendapati kaum Quraisy sedang mengepung rumahnya. Beliau kemudian menebarkan tanah pasir ke wajahwajah mereka.

Beliau sangat yakin dan tentram hatinya bahwa Allah akan mengabulkan doanya dan akan memalingkan kaum Quraisy darinya. Begitulah Rasul saw. telah sempurna beramal dengan
menjalani kaidah kausalitas, hingga akhirnya orang-orang yang mengepung rumahnya tertidur dan Rasulullah saw. pun bisa keluar dari rumahnya dengan selamat. Jadi, berdoa tidak berarti meninggalkan usaha dengan menjalani kaidah kausalitas, melainkan doa itu harus senantisa menyertai setiap usaha dengan tetap menjalani kaidah kausalitas. Maka siapa saja yang menginginkan tegaknya kembali Khilafah dalam waktu dekat ini, ia tidak boleh merasa cukup dengan hanya berdoa untuk mewujudkan keinginannya itu. Melainkan ia harus beramal bersama orang-orang yang tengah beraktivitas untuk mewujudkannya. Dia juga harus berdoa kepada Allah, memohon pertolongan untuk mewujudkan Khilafah dan mempercepat terwujudnya. Ia pun harus terus-menerus berdoa dengan ikhlas, dengan tetap berpegang pada kaidah kausalitas.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar