Sabtu, 25 Juli 2009

SUDAH BERAGAMAKAH KITA?

Agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya, baik karena takut maupun karena dorongan kagum dan cinta. Lalu, beragamakah kita?

Agama, apakah agama? Tidak mudah menjawabnya. Jangankan definisinya, makna asal kata ini pun diperselisihkan para pakar. Ada yang berkata, ia terambil dari bahasa Sansekerta yang terdiri dari kata A yang berarti tidak dan gama yang berarti kacau. Agama adalah peraturan yang menghindarkan manusia dari kekacauan serta mengantar mereka hidup dalam ketertiban dan keteraturan. Ada lagi yang berkata kata tersebut berasal dari bahasa Indo Germania, yang darinya lahir kata go dalam bahasa Inggris, gaan dalam bahasa Belanda, dan gein dalam bahasa Jerman, yang kesemuanya mengacu ke makna jalan. Penambahan huruf A pada awal kata itu menjadikannya sebagai kata benda, sehingga “agama” adalah jalan yang mengantar Anda menuju kebahagiaan duniawi dan ukhrawi.

Di Bali dikenal istilah Agama, Igama dan Ugama. Agama menurut istilah ini mencerminkan peraturan yang mengatur hubungan manusia dengan Penguasa, Igama adalah yang mengatur hubungan dengan tuhan/dewa-dewa misalnya sembahyang, sedang Ugama adalah ketentuan yang mengatur hubungan manusia dengan sesamanya.

KH. Ali Yafie memperoleh kesan bahwa kata agama sejalan dengan bahasa Arab aqâma yang dalam dialek bahasa Arab Hadhramaut Selatan Jazirah Arabia, diucapkan agama, yang maknanya adalah menetap. Agama menurut Kyai yang kaya ilmu dan penuh kharisma itu adalah menetap. Beragama Islam berarti menetap di dalam Islam. Kalau hanya sekali-sekali melaksanakan tuntunan Islam, maka yang bersangkutan tidak dapat dinamai beragama Islam.

Kata dîn dalam bahasa al-Qur’an, seringkali dipersamakan dengan kata agama. Kata tersebut terdiri dari tiga huruf hijâ’iyah yaitu dâl, yâ’ dan nûn. Bagaimanapun Anda membacanya, maknanya selalu menggambarkan hubungan antara dua pihak, yang satu lebih tinggi kedudukannya dari yang lain. Seperti dain yang berarti hutang, atau dîn yang berarti balasan dan kepatuhan. Dîn adalah hubungan antara manusia dengan Allah swt.

Menemukan definisi agama pun tidak mudah kalau enggan berkata “mustahil” bagi ilmuwan yang ingin memberi batasan yang tepat. “Agama bersifat khusus, pribadi, sumbernya adalah jiwaku dan mustahil bagi selainku, memberi aku petunjuk, jika jiwaku sendiri enggan menerima petunjuk itu.” Demikian komentar filosof Inggris John Locke (1632-1704 M).

Memang, sementara pakar telah berusaha menggambarkannya. Agama adalah: “Pengetahuan tentang Tuhan dan upaya meneladaninya”, kata Seneque (2-66 M).

Agama adalah pengabdian kemanusiaan, kata August Comte (1798-1857). Beragama adalah menjadikan semua sebagai kewajiban kita, berarti perintah-perintah Tuhan yang suci harus dilaksanakan. Begitu menurut Immanuel Kant (1724-1804). Agama adalah sekumpulan dari petunjuk Ilahi yang disampaikan melalui nabi dan rasul untuk menjadi pedoman hidup bagi manusia dan mengantar mereka meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Demikian tulis sementara pakar muslim.

Begitulah Anda lihat, masing-masing hanya mampu menggambarkan satu atau beberapa sisi dari makna atau definisi agama. Begitulah terbaca keanekaragaman pandangan pakar, padahal agama bagi orang kebanyakan, tidak membutuhkan definisi untuk diketahui, karena ia adalah sesuatu yang disadari. Betapa tidak disadari, padahal kita semua hidup dengannya dan dapat merasakannya. Ia bahkan dirasakan kehadirannya oleh yang enggan menerima agama, karena semua manusia – di mana pun ia berada – hidup dalam lingkungannya.

Pada akhirnya kita dapat berkata bahwa agama adalah hubungan yang dirasakan antara jiwa manusia dan satu kekuatan yang Maha Dahsyat dengan sifat-sifat-Nya yang amat indah dan sempurna mendorong jiwa itu untuk mengabdi dan mendekatkan diri kepada-Nya, baik karena takut maupun karena dorongan kagum dan cinta.

Untuk dapat dinamai beragama, maka paling tidak ada tiga hal yang harus terpenuhi. Pertama: Merasakan dalam jiwa tentang kehadiran satu kekuatan yang Maha Agung, yang menciptakan dan mengatur alam raya. Dalam bahasa agama Islam, ini adalah keyakinan tentang wujud Tuhan Yang Maha Esa.

Kedua: Lahirnya dorongan dalam hati untuk melakukan hubungan dengan kekuatan itu, hubungan yang nampak dalam ketaatan melaksanakan apa yang diyakini sebagai perintah atau kehendak-Nya. Ini adalah ibadah.

Ketiga: Meyakini bahwa Yang Maha Agung itu Maha Adil, sehingga pasti akan memberi balasan dan ganjaran sempurna pada satu waktu yang ditentukan-Nya. Dengan kata lain, kepercayaan tentang adanya hari Kemudian.

Beragamakah kita? Mari kita melakukan introspeksi! Semoga.

Sumber :
Disunting dari buku "Menjemput Maut" karya M. Quraish Shihab, Jakarta: Lentera Hati, 2005.

1 komentar: