Sabtu, 25 Juli 2009

Memaknai "Ritualisme"

Ibrahim berasal dari Australia. Ia berganti nama, tempat tinggal, dan agama. Ia memilih tinggal di daerah Bandung Utara. Para tetangganya, yang rumah-rumahnya berjejer di pinggir jalan besar, berasal dari kelompok sosial ekonomi tinggi. Hampir semuanya muslim dan sudah Haji. Sebagian di antara mereka sudah umrah berkali-kali. Di belakang rumah gedongan itu, ada perkampungan kumuh. Di situ, ada seorang janda yang rumahnya yang kecil dipergunakan untuk pengajian anak-anak kampung yang tidak mampu. Setiap usai shalat Magrib, anak-anak tidak mampu itu mengaji dengan memperebutkan Alqur’an lama yang jilidnya sudah robek.

Ibrahim terharu menyaksikan mereka. Ia berusaha membantu mereka dengan menyediakan fasilitas belajar yang lebih baik. Ia bertanya kepada saya, "Mengapa ratusan ribu orang Indonesia pergi melakukan ibadah haji, menghabiskan miliaran rupiah, tetapi tidak memperhatikan pendidikan anak-anak yang tidak mampu? Saya bertekad tidak akan naik haji, sebelum anak-anak dikampung itu mendapat pendidikan yang layak."

Ibrahim belum lama masuk Islam. Ia bingung mengapa miliaran uang dibuang hanya untuk sebuah upacara ibadah. Saya bingung juga untuk menjelaskan bahwa haji adalah rukun Islam yang kelima. Haji jelas termaktub dalam Alqur’an dan sunnah, sedangkan membantu pendidikan tidak disebutkan di dalam keduanya dengan tegas.

“Tidak ada balasan bagi haji mabrur selain surga”, begitu hadist Nabi SAW. Apa pahala yang kita peroleh untuk membiayai pendidikan? Bila orang yang mampu tidak mau naik haji, ia akan mati sebagai Nasrani atau Yahudi.

Namun apabila orang kaya mengabaikan pendidikan orang miskin di sekitarnya, ia akan mati biasa saja. Bila orang meneteskan air mata di ‘Arafah, Tuhan akan mengampuni seluruh dosanya. Bila anda meneteskan air mata di gubuk orang miskin, anda hanya akan dianggap orang cengeng saja.

Saya ingin menjelaskan semuanya kepada Ibrahim. Tetapi, saya segera sadar: semua argumentasi itu lahir karena saya rasa ia menyerang cara beragama saya selama ini. Ia menghujat pemaknaan saya terhadap syariat Islam. Ia bahkan memukul hati nurani saya. Jauh didalam lubuk hati, saya mulai bertanya-tanya juga. Layakkah kita menghabiskan dana begitu besar untuk kepuasan spiritual yang sifatnya individu?

Tetapi, bila kita meninggalkan ibadah haji, tidakkah kita mengabaikan salah satu tonggak penting ajaran Islam? Jawaban yang paling baik tentu saja haji dan sekaligus menolong fakir miskin. Yang begini ini lebih mudah diomongkan daripada dilakukan. Kenyataannya, karena dana terbatas, ktia memilih salah satu. Yang kita pilih, tentu saja haji.

Mengapa?

Argumentasi yang sama berulang. Haji jelas perintah yang termaktub dalam nash. Apakah membantu pendidikan tidak ada dalam nash? Mungkinkah Allah SWT mengatur kaki mana yang pertama masuk ke toilet mengabaikan persoalan pendidikan masyarakat? Soal "kaki mana yang dipilih" hampir tidak mempengaruhi kejayaan umat Islam. Kepedulian tentang pendidikan jelas menentukan masa depan umat.

Saya terkejut. Saya telah jatuh pada ‘ritualisme’. Ada dua ciri pokok ritualisme.

Pertama, keterikatan pada makna tersurat dari teks-teks keagamaan. Bila tidak tercantum tegas dalam nash, kita mengabaikannya.

Kedua, kita menjalankan ritus-ritus keagamaan dengan setia, tetapi kita lupa pada tujuan ritus-ritus itu. Kita sibuk memperhatikan letak tangan dalam berdiri saat shalat, namun lupa akan implikasi shalat kita dalam kehidupan sehari-hari. Kita hapalkan betul ucapan takbir, tetapi mengabaikan esensi takbir, yaitu mengecilkan diri kita dan hanya membesarkan Tuhan semata.

Keduanya bisa saling berkaitan. Kerena kita memusatkan perhatian hanya pada bunyi teks, kita melupakan konteks. Karena kita tertarik hanya pada segi-segi ritual, kita mengabaikan teks yang merujuk pada hal-hal yang esensial. Kita hapal betul ucapan Rasulullah SAW. Bahwa haji mabrur tidak mempunyai balasan kecuali surga. Kita abaikan penjelasan Nabi sesudah itu. Ketika Nabi saw ditanya tentang tanda-tanda haji mabrur, beliau berkata, "Berbicara yang bagus dan memberikan makanan untuk orang miskin."

Ketika berbagai cara haji disampaikan kepadanya, Nabi saw. Bersabda,"Boleh, tidak apa-apa." Beliau tidak mempersoalkan ritus-ritus itu. Ketika para sahabat memperselisihkan prosedur haji, ayat Alqur’an turun::”…barangsiapa yang menetapkan niat dalam bulan itu akan mengerjakan haji, maka tidak boleh berkata kotor, berbuat fasik, dan berbantah-bantahan didalam masa mengerjakan haji. (QS 2: 197).

Jangan sekali-kali diartikan bahwa ritus-ritus itu tidak penting. Ia tetap penting dan tetap harus dilakukan. Ritualme keliru karena berhenti pada ritus. Pada ritualisme, agama tampak hanya sebagai serangkaian upacara formal yang kering dan tidak bermakna.

Berkenaan dengan ritualisme inilah Rasulullah saw. Bersabda, "Akan datang kepada manusia, satu zaman, ketika Tuhan-tuhan mereka adalah perut, kiblat mereka seks, agama mereka uang, kemuliaan mereka kekayaan. Tidak tersisa dari iman, kecuali namanya,; tak tersisa dari Islam, kecuali upacaranya; tak tersisa dari Alqur’an, kecuali pelajarannya. Mesjid-mesjid mereka ramai, tetapi hati mereka kosong dari petunjuk. Merkea tidak mengenal ulama, kecuali pakaian keulamaannya yang bagus. Mereka tidak mengenal Alqur’an, kecuali dari suara bacaannya yang bagus. Mereka duduk rapat di masjid, tetapi zikirnya dunia dan kecintaannya dunia." (kitab Jami’k al-Akbar).

Ibrahim benar ketika ia mengkritik ritualisme pada kebanyakan kita. Tetapi, ia keliru ketika bertekad untuk tidak naik haji karena melihat orang yang mengabaikan pendidikan. Ia bergabung dengan sebagian orang yang meloncat kepada makna yang paling dalam dengan meninggalkan ritus-ritus lahirnya: mereka mengatakan bahwa ritus-ritus itu hanya wahana saja untuk mencapai tingkat spiritual yang tinggi. Ketika mereka menyatakan tidak perlu wahana lagi, mereka sudah mengklaim dirinya sebagai orang suci. Klaim itu, dalam tasawuf disebut sebagai ‘ujb (merasa kagum dengan dirinya). Iblis jatuh karena itu.

Ritualisme sama ekstremnya dengan substansialisme. Eksoterisme sama satu sisinya dengan esoterisme. Sebagiamana Allah (Dialah Yang Lahir dan Yang Batin – QS 57: 3), seorang muslim menjalankan dimensi keberagamaannya yang lahir dan yang batin sekaligus. Wallahualam bissawab

Dikutip tanpa izin dari tulisan Ustadz KH Jalaluddin Rakhmat, “Reformasi Sufistik”, Oktober 1998

Semoga Bermanfaat
Wassalamualaikum wr.wb
Imam Puji Hartono (IPH)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar