Sabtu, 25 Juli 2009

Berita Kematian

Berita di Televisi, headline surat kabar, koran2 online dan majalah beberapa hari ini berwajah suram. Berita musibah, tragedi, dan kematian. Inilah berita-berita yang dimuat hampir semua stasiun televisi dan surat kabar itu: Saudara2 kita di Situ Guntung sama sekali tidak menduga bahwa Jum'at subuh itu merupakan musibah yang mengerikan bagi mereka, keluarga , teman, tetangga dan sanak saudara yg tinggal disekitar Situ Gintung. Sampai dengan hari ini sudah 98 korban meninggal dan lebih dari 130 jiwa masih hilang dan belum diketemukan.

Setelah adzan subuh, cerita Chandra, tanah mulai longsor. Jembatan ambruk dan tanggul dari beton ikut hancur. "Tanggul jebol," paparnya. Chandra termasuk beruntung karena menyimak tanda-tanda bencana sehingga bisa menyelamatkan keluarga dan tetangganya. Namun, banyak korban warga RT 03 dan 04 di RW 08 sama sekali tak siap dan akhirnya hanyut terbawa air bah.

Bencana di pagi buta, kata para korban, amat luar biasa. "Air tiba-tiba datang amat kencang dan setinggi lebih dari 8 meter. Keponakan saya, Fahruz, langsung membawa Bambang, ayahnya, ngungsi. Ia lalu kembali mengambil keponakannya, Adinda Nur Syifa, tetapi keduanya tak mampu menyelamatkan diri," kata Hajjah Lala, bibi Fahruz yang sedang menunggui jasad Adinda dan Fahruz di Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Ahmad Dahlan. Sekitar dua jam setelah kejadian, tim SAR berhasil mengevakuasi jasad Fahruz yang sedang menggendong Adinda di dalam rumah penuh air.

Derai air mata sepanjang pagi hingga sore tumpah di gedung STIE Ahmad Dahlan dan Universitas Muhammadiyah Jakarta, tempat lebih dari 50 jenazah disemayamkan. Di sisi luar garis batas persemayaman jenazah, ratusan warga yang kehilangan anggota keluarga kebingungan mencari informasi keberadaan keluarganya. Ny Sri bersama dua saudaranya lari ke tempat jenazah saat ada jasad baru datang.

Bapak itu adalah Mansyur (55), warga Pamulang, Ciputat. Gurat-gurat di wajahnya semakin tampak karena panik belum bertemu dengan anak, menantu, dan cucu tercinta. Alisnya turun, matanya merah, dan bibirnya gemetar menahan tangis. Sesekali kedua telapak tangannya mengusap muka dan berkata, "Ya Allah... di manakah anakku." Telapak tangannya pun turun ke dada dan mengusapnya. Matanya terpejam, bibir lelaki tua itu kembali bergetar.

Sang istri sigap menahan tubuh suaminya yang limbung. Wanita bertubuh gempal itu kemudian menitikkan air mata. Kepada Kompas.com, Mansyur bercerita. Dia tengah mencari anaknya yang tinggal tepat di samping salah satu pintu air Danau Situ Gintung, Ciputat. "Saya bingung, di mana anak saya," ujarnya lalu menangis.

Anak Mansyur bernama Syamsul Arifin. Pria berusia 27 tahun itu tinggal di pinggir danau bersama istrinya, Reni, dan anaknya yang masih balita. "Padahal, tadi malam saya sudah pesan sama dia. Hati-hati Le (panggilan sayang untuk anak dalam bahasa Jawa). Air sudah tinggi. Tadi malam saya sempat main ke rumahnya. Waktu saya lihat, air memang sudah tinggi. Dari bibir danau, air sudah bisa diambil dengan tangan," tutur pria yang baru melangsungkan pernikahan keduanya sebulan lalu itu.

Masih menurut Berita di Kompas, Sejak Sabtu pagi, para keluarga yang kehilangan anggotanya datang silih berganti ke Instalasi Forensik dan Perawatan Jenazah RS Fatmawati. Dengan rasa cemas, sekaligus berharap, mereka mengamati foto-foto jenazah di whiteboard yang terpasang di depan ruang instalasi.

Fahri (31), misalnya, mencari-cari bibinya, Eti Susilawati (50), yang tinggal di lokasi bencana dan belum ditemukan. Sementara, keempat anak Eti yang semuanya tewas telah ditemukan, Jumat. Suami Eti, Oscar Anwar (50), karyawan TVRI Pusat, tengah bertugas ke Semarang ketika petaka itu terjadi. Keempat anak Eti dan Oscar yang tewas adalah Reagen (26), Yogi (20), Oktaviani (16), dan Alviana (13). "Reagen setelah Lebaran nanti mau menikah. Alviana sebentar lagi mau ujian akhir," kata Fahri.

Yayo (40), misalnya, lelaki asal Purbalingga ini, Sabtu petang, mendatangi RS Fatmawati untuk mencari kakak iparnya, Sukasno (50), pekerja kebun di Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), yang malam itu menginap di gedung rektorat. Yayo datang bersama keponakan Sukaso, Desi (21). Keluar dari kamar jenazah, Desi menangis tertahan. "Betul itu Uwak," ujarnya dengan suara tersekat. Tentunya masih banyak kepiluan dari para korban dan keluarganya yang ditinggalkan.

Beberapa tahun belakangan ini di saat umat manusia di muka bumi berharap terjadinya perubahan dalam hidup mereka. Perubahan menuju kebaikan, semua orang menginginkannya. Namun kematian, musibah, dan tragedi, datang sangat tiba-tiba, bahkan lebih cepat dari kerdipan mata. Setiap musibah, tragedi, dan tentu kematian tentulah dan semestinya dapat menyadarkan kita bahwa manusia adalah makhluk yang sama sekali tidak berdaya, tak dapat mencegah, bahkan tak mampu menunda apa pun.

Kematian bisa datang lebih cepat sebelum penduduk Situ Gintung bangun untuk shalat Subuh dan beraktivitas. Namun kematian juga bisa datang bertatih-tatih dan merangkak di ruang ICU Rumah Sakit. Tidak ada tempat bagi mereka berlindung, tidak ada tali bagi mereka bergantung, ketika maut menggapainya di tempat tersembunyi dan tinggi sekali pun.

Kehidupan sesungguhnya adalah tawanan abadi kematian. Tidak ada alat, uang, kekuasaan, dan harta yang bisa menebusnya. Tidak juga istri, suami dan anak-anak tercinta. Manusia hanya menunggu saatnya tiba. Tidak detik ini, mungkin menit berikutnya. Tidak ketika tertawa, mungkin ketika tersenyum.

"Dan ketahuilah," tulis Ali bin Abi Thalib dalam surat wasiat kepada putranya, Al Hasan, "engkau diciptakan untuk akhirat, bukan untuk dunia fana ini. Untuk sirna, bukan untuk abadi. Untuk mati, bukan untuk hidup selamanya. Bahwa posisimu adalah posisi berangkat untuk mengumpulkan bekal. Dan, bahwa engkau tengah berjalan menuju akhirat. Bahwa engkau tengah dikejar oleh kematian. Tidak ada makhluk yang dapat lari dari kematian. Karena itu, hati-hatilah selalu dengan kematian. Jangan sempat engkau dijemput kematian ketika engkau tengah dalam kondisi buruk."

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an :"Dan setiap umat mempunyai batas waktu maka apabila telah datang ajal mereka maka mereka tidak akan dapat mengundurkannya sesaatpun dan mereka tidak dapat pula memajukannya." (QS. Al-A`raf:34)

Ketika kita turut mengusung keranda, jarang sekali kita merasa bahwa pada suatu saat kita akan diusung pula. Pada saat kita ikut meletakkan atau menyaksikan sang mayit diletakkan dalam rongga sempit di dalam tanah, kita tidak berfikir bahwa kita juga nanti pasti akan mengalami hal serupa. Banyak manusia yang tidak sadar bahwa detak jantung yang belalu, denyut nadi yang bergetar serta detik-detik yang terlewat sesungguhnya merupakan langkah-langkah pasti yang akan semakin mendekatkan kita pada titik takdir kematian.

Firman Allah SWT "Katakanlah sesungguhnya kematian yang kamu semua melarikan diri darinya itu, pasti akan menemui kamu, kemudian kamu semua akan dikembalikan ke Dzat yang Maha Mengetahui segala yang ghaib serta yang nyata." (QS. Jum’ah:8).

Dan ketika kematian itu datang, maka berakhirlah segala kenikmatan yang telah dan tengah dirasakan manusia. Ada orang bijak yang mengatakan,secara global sesungguhnya Allah hanya memberi satu nikmat saja kepada manusia, yakni nafas. Begitu nafas itu berhenti, maka berhenti pula berbagai kenikmatan yang ada. Itulah sebabnya, mengapa nabi mengatakan bahwa sesuatu yang bisa memutus segala kenikmatan adalah kematian. Meskipun secara hakiki hanya Allah yang mencabut semua itu. Anehnya, sesuatu inilah yang paling sering tidak diingat manusia.

Mati Sebagai Nasehat

Sering kali gebyar kehidupan duniawi mudah membuat kita terlena. Apalagi ketika begitu semakin banyak perlengkapan hidup dengan segala macam kemajuan, kemudahan dan kenikmatannya yang semakin mengepung kita di masa modern ini. Semua itu kerap menggoda dan melalaikan manusia. Muncullah berbagai prinsip hidup sesat seperti materialisme (hidup hanya untuk tujuan mencapai kemajuan materi), hedonisme (hidup hanya untuk mencapai kesenangan), permisivisme (serba membolehkan apa saja) dan lain-lain yang sejenisnya. Dalam keadaan seperti itu, nasehat dari siapapun biasanya tak lagi digubris. Tapi ingatlah setiap kita memiliki penasehat yang sangat ampuh, yaitu kematian. Bila sejenak merenungkan kematian yang sewaktu-waktu pasti akan datang, pasti kita akan lebih hati- hati dalam melangkah.

Rasulullah saw bersabda :"Cukuplah kematian itu sebagai nasehat". (HR. Thabrani dan Baihaqi).

Sudah semestinya kita senantiasa mengingat akan datangnya musibah terbesar itu. Seketika itu, istri, anak dan keluarga tersayang akan terpisah, pangkat yang diduduki akan hilang, harta yang dikumpulkan dengan susah payah semuanya akan ditinggalkan, dan bahkan nyawa yang dicintai akan lepas. Melalui pintu mati kita meninggalkan alam dunia, menuju alam kehidupan berikutnya, akhirat.

Orang yang melalaikan datangnya kematian, berarti kehilangan penasehat terbaiknya. Kehidupannya akan mudah tergoda dan terperosok dalam kelalaian. Keterlenaannya mengejar kehidupan dunia, kenikmatan sesaat dan bermegah-megahan membuatnya lalai mempersiapkan bekal akhirat hingga kematian menjemput. Akibat lalai dengan nasehat kematian, akhirnya hanya berujung kepada penyesalan abadi di neraka jahim.

Firman Allah SWT dalam Al Qur’an :"Bermegah-megahan telah melalaikan kamu, sampai kamu masuk ke dalam kubur. Janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui (akibat perbuatanmu itu), dan janganlah begitu, kelak kamu akan mengetahui. Janganlah begitu, jika kamu mengetahui dengan pengetahuan yang yakin, niscaya kamu benar-benar akan melihat neraka Jahiim, dan sesungguhnya kamu benar-benar akan melihatnya dengan ‘ainul yaqin, kemudian kamu pasti akan ditanyai pada hari itu tentang kenikmatan (yang kamu megah-megahkan di dunia itu)". (QS. At Takastur: 1- 8).

Rasulullah saw bersabda: "Perbanyaklah kalian mengingat mati sebab seseorang hamba yang banyak mengingat mati maka Allah akan menghidupkan hatinya dan Allah akan mengingatkan baginya sakitnya kematian." (Al-Hadits).

Kita telah diajarkan oleh Rasulullah saw untuk selalu mengingat akan datangnya kematian, sebab orang yang tidak mengingat mati berpeluang hatinya menjadi mati dan akan mudah berbuat maksiat. Orang yang rajin bersilaturahmi, bersedekah dan berdoa akan dapat memperpanjang usianya. Orang yang paling cerdas adalah orang yang paling banyak mengingat mati dan orang yang mempersiapkan dirinya untuk mati. Jangan risau akan kematian tapi risaulah jika tidak mempunyai cukup bekal untuk mati. Kejarlah dunia seakan kamu hidup selama-lamanya dan kejarlah akhirat seakan kematian akan menjemput kamu esok hari.

Karena tanpa kita sadari, kematian selalu mengintai kita semua dan kedatanganya tampak selalu mendadak. Banyak terjadi, manusia yang dicabut nyawanya dalam keadaan sedang bergembira ria, sedang maksiat, sedang tidur dll. Kemana pun kita berlari, dan dimana pun kita berada, mati akan datang merenggut kita. Ini suatu kepastian yang mutlak. Kita semua hanya menunggu giliran, masalahnya hanya waktu.

Kematian datang dengan caranya. Dia tak pernah malas dan lupa menjemput kita, baik ketika berada di rumah, di Kantor, di Hotel bahkan di Istana. Kematian menjemput kita dimana saja, baik di udara, di laut, dan di darat. Ketika naik pesawat maupun berjalan kaki. Dia bisa datang ketika naik pesawat mahal di Kelas bisnis ataupun pesawat murah di kelas ekonomi, ketika naik jaguar ataupun dokar (andong), ketika kita naik mobil mewah maupun saat naik metro mini. Kematian bisa datang ketika kita makan atau minum, bahkan diam, kematian bisa datang saat kita berjalan maupun saat berhenti. Ketika bangun, maupun ketika tidur.

Tak ada tempat bersembunyi, tak ada tawar-menawar. Lalu, ketika waktunya tiba, mengapa kita menyesalinya? Kita semua sedang dikejar kematian, tak mungkin bisa lari, apalagi bersembunyi. Hanya kepada Allah sajalah, kita semua akan kembali. Inna lillahi wa inna ilaihi roji’un.

Semoga bermanfaat.
Wassalam
IPH

Tidak ada komentar:

Posting Komentar