Selasa, 07 Juli 2009

Sebuah Pertanyaan Tentang Kedudukan Seorang Istri

Seorang teman bertanya, ia pernah membaca dua hadish Rasulullah saw yang sepertinya melecehkan kedudukan atau martabat seorang wanita sebagai seorang istri. Dalam bahasa Indonesia, hadish itu diterjemahkan sebagai berikut:

Hadish Pertama:
Suatu hari Rasulullah saw menyampaikan pesan tentang hidup berumah tangga kepada sahabat-sahabatnya Rasulullah bersabda, “Nasihatilah istrimu dengan baik, sesungguhnya wanita itu berasal dari tulang yang bengkok. Dan yang paling bengkok adalah bagian yang atas. Apabila kamu paksa untuk meluruskannya ia akan patah. Dan apabila kamu membiarkannya, maka ia akan bengkok selamanya. Nasihatilah ia dengan cara yang baik.” (Mutafaqun Alaihi)

Hadish Kedua:
Dikesempatan yang lain Rasulullah bersabda, “Seandainya aku boleh memerintah seseorang untuk bersujud kepada seorang manusia, pastilah aku menyuruh seorang istri untuk bersujud kepada suaminya.” (HR At Tirmidzi)

Hamba itu menghela nafasnya sambil berucap Allahumma Shalli ‘Ala Muhammad. Ia berusaha menjawabnya dengan menjelaskan kedudukan perkataan seorang manusia yang agung itu, Rasulullah saw.

Sebenarnya yang terjadi adalah Rasulullah saw membuat dua perumpamaan yang indah dalam dua hadish diatas. Pada hadish pertama tersirat makna yang dalam bahwa seorang suami tidak dapat memaksa seorang istrinya untuk merubah sifat jelek sang istri atau kebiasaan buruknya. Diperlukan kesabaran dan waktu yang tidak instan karena sesuatu yang dipaksakan akan membawa dampak yang buruk seperti patahnya seruas tulang yang bengkok karena dipaksa untuk diluruskan. Ini sebenarnya adalah penghormatan kepada kaum wanita atau sang istri sendiri. Seorang suami yang shaleh harus dengan bijak berusaha untuk mengubah kebiasaan atau sifat buruk istrinya tanpa harus memaksa. Rasulullah sangat menghargai sebuah perbedaan antara seorang suami dan istri yang memiliki latar belakang didikan orang tua yang berbeda dengan kebiasaan yang berbeda pula.

Seorang suami juga tidak boleh mengabaikan atau membiarkan sifat atau kebiasaan buruk sang istri itu tanpa berusaha untuk merubahnya sama sekali. Membiarkan sesuatu keburukan di dalam rumah tangga adalah bagai membiarkan sebuah kebathilan kecil terjadi yang dampaknya akan sangat berpengaruh pada sebuah akhlak masyarakat. Bukankah sebuah rumah tangga adalah satuan terkecil dari sebuah masyarakat? Membiarkan sebuah sifat jelek atau kebiasaan buruk sang istri diibaratkan bagai tulang bengkok yang dibiarkan bengkok selamanya.

Dalam hadish yang kedua, Rasulullah kembali membuat perumpamaan. Rasulullah memulainya dengan kata “Seandainya” yang berarti “tidak pernah terjadi atau mustahil untuk terjadi”. Rasulullah mengibaratkan seorang istri seharusnya tunduk dan patuh kepada suaminya ibaratnya ia sujud kepada suaminya karena begitu besar hak atau wewenang seorang suami terhadap istrinya. Ini untuk menguatkan pemahaman bahwa sebuah institusi rumah tangga haruslah memiliki hanya seorang nakhoda yang memiliki wewenang yang teguh. Sebuah rumah tangga tidak dapat memiliki dua nakhoda karena akan terjadi kekacauan bagi anak-anak ataupun pekerja rumah tangga yang dipimpinnya. Hal ini sejalan dengan firman Allah dalam QS An Nisaa' [4]:34:

"Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita oleh karena Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain (wanita) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebahagian dari harta mereka. Sebab itu maka wanita yang shaleh adalah yang taat kepada Allah lagi memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh karena Allah telah memelihara mereka…”

Walaupun demikian sang suami tidak dapat bersikap sewenang-wenang terhadap istri dan anak-anaknya yang ia pimpin karena yang dimaksud dengan seorang pemimpin disini mestilah memiliki kecakapan untuk memimpin. Dalam bahasa agama, Allah menyatakan seorang pemimpin harus dan sekali lagi harus memiliki kriteria dalam memimpin. Dan Allah menyebut kriteria itu dalam QS Al Maaidah [5]:8:

“Hai orang-orang beriman, hendaklah kamu menjadi orang-orang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap suatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adil-lah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan”

Kriteria bagi seorang suami untuk memimpin adalah mempunyai sifat ‘selalu menegakkan kebenaran’, ‘adil’ dan ‘bertaqwa’. Inilah kriteria suami yang layak memimpin menurut Allah SWT.

Ada sebuah pernyataan Allah di QS An Nisaa’ [4]:34 diatas yang mencerminkan sebuah keindahan. Allah memakai kata-kata bahwa “Kaum laki-laki adalah pemimpin bagi kaum wanita” dengan sebab (1) Allah telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) dalam hal kecakapan dalam memimpin dan (2) Karena mereka (laki-laki) adalah penanggungjawab dalam hal memberi nafkah. Dan ini tidak berlaku untuk semua laki-laki. Tidak semua laki-laki yang menjadi suami dapat memenuhi kedua kriteria ini karena sang suami bisa jadi tidak cakap sebagai pemimpin dan bisa jadi dalam hal mencari nafkah, sang istri lebih berperan. Begitu Maha Adil nya Allah dalam menyampaikan firman-firman-Nya. Dan sekali lagi ini membuktikan kebenaran Al Quran bukanlah ciptaan manusia karena jika ini adalah perkataan Nabi Muhammad, pastilah ayat ini cenderung untuk membela kaumnya sebagai seorang laki-laki. Allahumma Shalli ‘Alla Muhammad..

Wallahu ‘Alam Bissawab…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar