Selasa, 07 Juli 2009

Serat Darmo Gandhul \

Pada suatu ketika Sunan Bonang hendak pergi ke Kediri diiringi oleh dua orang santrinya. Sesampai di bagian utara Kediri di tanah Kertasana, perjalanan terhalang oleh air sungai Brantas yang sedang banjir. Sunan Bonang beserta kedua orang santrinya itu lantas menyeberang. Sesampai di timur sungai, yang kemudian diberi nama Gedah oleh Sunan Bonang, ia berkata kepada santrinya, “Carilah air bersih ke pedesaan, sungai ini masih banjir, airnya masih kotor, apabila diminum membuat sakit perut, dan lagi ini waktu shalat dzuhur, aku akan berwudhlu untuk shalat”.

Santrinya yang satu kemudian pergi ke pedesaan hendak mencari air. Sampai di Desa Patuk ada rumah kelihatan sepi tidak ada penghuninya. Yang ada hanya seorang gadis remaja sendirian sedang menenun. Santri tadi datang dan meminta air.

“Bolehkah saya minta air bersih yang bening?”

Gadis itu terkejut mendengar suara laki-laki. Setelah menoleh dan tahu ada tamu laki-laki, gadis itu salah paham, pikirnya laki-laki itu akan mengganggu, menggoda dirinya, maka ia menjawab dengan kata ketus dan jorok.
“Kamu lewat sungai kok datang pakai minta air bersih segala. Di sini tidak ada orang menyimpan air bersih, kecuali kencing saya ini yang bening. Minumlah kalau kamu mau”.

Mendengar jawaban tersebut santri tadi langsung pergi tanpa pamit. Ia berjalan cepat sambil ngomel dan melaporkan kejadian tadi kepada Sunan Bonang. Begitu mendengar laporan santrinya, timbullah amarahnya hingga keluar kutukan, bahwa di tempat itu akan susah dan mahal air, perawannya tidak akan kawin sebelum tua, demikian juga jejakanya tidak kawin sebelum menjadi jejaka tua.

Karena kekuatan karomah yang dimiliki Sunan Bonang, sabda tadi membuat aliran sungai Brantas seketika menjadi kecil, aliran air yang besar berbelok menerabas desa, hutan, sawah dan ladang. Banyak Desa yang rusak diterjang aliran air sungai yang berpindah. Aliran sungai yang tadinya besar seketika mengering. Sampai sekarang daerah Gedah sulit air, jejaka dan perawannya terlambat kawin. Sunan Bonang terus melanjutkan perjalanan ke Kediri. Pada waktu itu ada makhluk halus bernama Nyai Plencing. Ia adalah penguasa di Sumur Tanjungtani.

Sebagai buntut peristiwa Gedah, ia mendapat pengaduan dari anak-cucunya tentang seorang manusia bernama Sunan Bonang yang membuat kesengsaraan kepada para makhluk halus. Manusia itu menyombongkan kesaktiannya dengan mengeringkan aliran Sungai Brantas dan memindahkan aliran airnya. Sehingga banyak desa, hutan, sawah dan ladang yang rusak. Ia juga mengutuk agar orang yang ada disitu baik laki-laki maupun perempuan akan kawin tua, dikutuk susah air serta mengganti nama daerah itu menjadi Gedah. Sunan Bonang benar-benar telah berlaku aniaya.

Mendengar pengaduan tersebut, Nyai Plencing segera berangkat untuk menghadang perjalanan Sunan Bonang. Tapi, jangankan menyerang untuk mendekati Sunan Bonang, mereka bahkan tidak mampu karena tubuhnya panas seperti terbakar. Akhirnya mereka melarikan diri ke Kediri untuk melapor kepada rajanya tentang semua peristiwa yang terjadi. Raja makhluk halus bernama Ki Buta Lohcaya bersemayam di Selabale kaki gunung Wilis.

Ki Buta Lohcaya dahulunya patih dari Sri Aji Jayabaya. Tadinya ia bernama Kyai Daha, sedang adiknya bernama Kyai Daka. Kyai Daha merupakan cikal bakal makhluk halus di Kediri. Dengan kedatangan Sri Aji Jayabaya, nama Kyai Daha diambil sebagai nama daerah yaitu Daha, sedang ia diberi nama baru Ki Buta Lohcaya dan kemudian diangkat menjadi patih. Serupa dengan kakaknya, nama Kyai Daka digunakan sebagai nama daerah yaitu Daka dan ia diberi nama baru yaitu Ki Tunggulwulung dengan jabatan panglima perang.

Setelah muksanya Sang Prabu jayabaya dan putrinya yang bernama Ni Mas Ratu Pagedongan, Ki Buta Lohcaya dan Ki Tunggulwulung juga muksa mengikuti jejak sesembahannya. Ni Mas Ratu Pagedongan kemudian berkuasa di laut selatan pulau Jawa dengan gelar Ni Mas Ratu Angin Angin. Semua makhluk halus yang berada di lautan dan daratan tanah Jawa dan sekitarnya, semua tunduk pada Ni Mas Ratu Angin Angin.

Sementara Ki Buta Lohcaya bersemayam di kaki gunung Wilis, Ki Tunggulwulung adiknya, bersemayam di gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar jika keluar tidak membuat kerusakan Desa dan daerah sekitarnya. Pada waktu itu Ki Buta Lohcaya sedang duduk di paseban agung menerima patihnya yang sedang menghadap, Megamendung namanya. Selain patihnya, kedua orang putranya juga datang menghadap. Yang tua bernama Panji Saktidiguna, sedang yang muda Panji Sarilaut.

Di tengah pembicaraan yang sedang berlangsung, sekonyong-konyong muncul Nyai Plencing datang dengan tergopoh-gopoh langsung bersujud di hadapan sang raja dan melaporkan tentang rusaknya tanah Kediri bagian utara akibat ulah orang dari Tuban yang datang berkelana ke Kediri, bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing melaporkan dengan lengkap berbagai peristiwa yang terjadi. Mendengar pengaduan tersebut, Ki Buta Lohcaya tidak dapat menahan kemurkaannya. Tanpa menunggu lebih lama, ia segera mengumpulkan para wadya bala serta seluruh prajurit jin dan peri perayangan untuk diperintahkan melawan Sunan Bonang.

Tidak lama kemudian para makhluk halus tadi sampai di sebelah utara Desa Hukum. Ki Buta Lohcaya mengubah dirinya menjadi seorang manusia bernama Kyai Sumbre sementara yang lainnya tetap pada wujudnya semula. Kyai Sumbre berdiri di tengah jalan menghadang jalannya Sunan Bonang dari utara. Tidak lama kemudian Sunan Bonang muncul dari utara. Dengan kewaskitaan seorang Waliullah, Sunan Bonang mengetahui bahwa yang ada di hadapannya adalah Ki Buta Lohcaya. Sunan Bonang bertanya kepada Kyai Sumbre, “Buta Lohcaya !. Mengapa kau menghadang perjalananku, dan memakai nama Sumbre, bagaimana kabarmu?”

Ki Buta Lohcaya sangat terkejut ketika mengetahui penyamarannya terbongkar. Maka kemudian ia berkata kepada Sunan Bonang, “Bagaimana Paduka tahu bahwa saya ini Buta Lohcaya?” Sunan berkata, “Jelas aku tahu, kamu ini raja iblis dari Kediri, namamu Buta Lohcaya”. Kyai Sumbre lantas bertanya, “Paduka ini manusia apa kok memakai jubah, tidak berbusana layaknya orang Jawa, seperti belalang kadung (cingcorang)?” Sunan Bonangpun menjawab, “Aku orang Arab, namaku Sayid Rahmat, adapun rumahku di Bonang Tlatah Tuban. Adapun tujuanku hendak ke Kediri untuk melihat dimana bekas kerajaan Prabu Jayabaya”.

Ki Buta Lohcaya kemudian berkata, “Sebelah timur itu namanya dusun Menang, semua bekasnya sudah sirna, keraton serta pesanggrahannya juga sudah tidak ada. Keraton ataupun tamansari milik Bagindawati Ni Mas Ratu Pagedongan juga sudah sirna. Pesanggrahan Wanacatur juga sudah musnah hanya tinggal nama dusunnya. Semuanya musnah tertimbun tanah pasir serta lahar dari Gunung Kelud. Paduka mengganggu anak cucu Adam, mengutuk perawan tua jejaka tua, serta mengganti nama kota menjadi Gedah, memindahkan sungai, kemudian mengutuk disini akan sulit air, itu namanya sia-sia tidak tahu aturan. Menganiaya tanpa dosa, alangkah susahnya orang hidup suami istri yang sudah tua. Menyulitkan beranak-pinaknya makhluk Lata Wal Hujwa. Itu tadi karena sabda Paduka, betapa susahnya manusia yang terkena dampaknya, sungai Kediri berpindah tempat menerjang dusun, hutan, sawah hingga menimbulkan banyak kerusakan karena kutukan Paduka. Selamanya susah air sumurnya kering. Paduka menganiaya tidak tahu tata karma, menghukum tanpa perkara.”

Sunan Bonang menjawab, “Mengapa disini aku ganti menjadi kota Gedah, karena orang disini agamanya tidak hitam dan tidak putih tetapi agama biru yakni agama Kalang. Mengapa aku kutuk sulit air, karena aku meminta air tidak diberi maka sungainya aku pindah alirannya dan aku kutuk susah air. Adapun aku mengutuk perawan tua dan jejaka tua, karena yang kumintai air tidak memberi itu, perawan baligh.” Ki Buta Lohcaya menyahuti, “Itu namanya tidak seimbang dengan kutukan Paduka. Tidak seberapa kesalahannya, malahan hanya seorang manusia yang salah, tetapi yang susah banyak sekali, tidak sepadan dengan kesalahannya. Paduka telah berbuat kemelaratan banyak manusia. Apabila dilaporkan kepada negara, Paduka akan dihukum yang lebih berat, karena merusak tanah. Nah saya saya mohon sekarang Paduka kembalikan lagi seperti sedia kala, agar disini murah air, agar bisa menjadi penghidupan masyarakat, agar mereka bisa kawin muda sehingga mempercepat berkembangnya Makhluk Allah. Paduka bukan raja mengapa mengacaukan agama, itu artinya perbuatan sewenang-wenang.”

"Meskipun kamu laporkan kepada Raja Majalengka aku tidak takut,” ujar Sunan Bonang.

Si Buta Lohcaya menjadi murka ketika mendengar ucapan Sunan Bonang. Ia berkata ketus, “Ucapan Paduka ini bukan ucapan orang yang tahu tata karma. Hanya pantas diucapkan manusia di hutan yang hanya mengandalkan kekuatan. Janganlah sombong hanya karena dikasihi dewa, berteman malaikat, kemudian bertindak semau-maunya tidak takut melakukan kesalahan, sia-sia menganiaya orang lain tanpa kesalahan, meskipun di tanah Jawa pasti ada yang melebihi kesaktian Paduka. Tetapi mereka ahli budi serta takut hukuman Dewa. Sangatlah jauh dari nilai kebajikan apabila sampai sia-sia kepada sesama berbuat tanpa aturan. Apakah Paduka itu manusia seperti Aji Saka, muridnya Dajal? Aji Saka menjadi raja di tanah Jawa hanya tiga tahun kemudian minggat dari tanah Jawa, sumber air di Medang dan seturutannya dibawa minggat semua. Aji Saka manusia dari tanah Hindia, paduka dari Arab, maka sama-sama sia-sia kepada sesama, sama-sama membuat kesulitan air. Paduka mengaku Sunan seharusnya berbudi luhur, membuat keselamatan kepada manusia semua, tetapi ternyata tidak demikian. Ujud Paduka ini Dajjal iblis laknat suka menggoda anak-anak, kemudian keluar nafsu amarahnya, Sunan macam apa itu? ApabilaPaduka benar-benar gurunya manusia, mestinya berbudi luhur.

Paduka menyiksa orang tanpa dosa, tandanya Paduka sekarang sudah membuat neraka jahanam. Apabila sudah jadi, kemudian Paduka tinggali sendiri, mandi di dalam kawah mendidih yang meluap-luap. Saya ini makhluk halus berbeda alam dengan manusia, tetapi saya masih ingat kepada keselamatan manusia. Sudahlah, sekarang semua yang rusak saya mohon dikembalikan lagi seperti sedia kala. Sungai yang kering dan tempat yang diterjang air, saya mohon dikembalikan seperti sedia kala, jikalau Paduka tidak mau mengembalikan seperti semula, semua manusia Jawa yang Islam akan saya santet agar mati semua, saya akan minta bantuan wadya bala kepada Kanjeng Ratu Ayu Angin-Angin yang ada di Laut Kidul”.

Sunan Bonang melihat reaksi Ki Buta Lohcaya jadi merasa bersalah, karena sudah membuat kesusahan menghukum orang yang tidak berdosa, maka kemudian ia berkata, “Buta Lohcaya, aku ini seorang Sunan, tidak bisa menjilat ludahku sendiri dan menarik kembali ucapanku yang sudah keluar, besok apabila sudah lima ratus tahun, sungai ini bisa kembali seperti sedia kala.” Mendengar perkataan tersebut, Ki Buta Lohcaya semakin murka. Ia menyeru dengan keras, “Harus paduka kembalikan sekarang, apabila tidak, Paduka saya tangkap!”

Sunan Bonang hanya menyahuti pendek, “Sudah kamu tidak boleh menjawab, aku pamit menyimpang ke timur.”

Sunan Bonang kemudian melompat ke timur sungai. Ki Buta Lohcaya membuntuti perjalanan Sunan Bonang. Sesampainya Desa Bogem, Sunan Bonang melihat patung kuda. Patung tadi berbadan satu berkepala dua terletak di bawah pohon Trenggulun yang buahnya sangat banyak berjatuhan di tanah. Sunan Bonang kemudian mengambil parang dan langsung menebas kepala patung kuda tadi. Ki Buta Lohcaya yang melihat perbuatan itu semakin tidak bisa menahan amarahnya dan berkata, “ Itu buatan Sang Prabu Jayabaya untuk perlambang wanita Jawa kelak di jaman Nusa Srenggi. Siapa yang melihat patung itu agar tahu batin wanita Jawa.”

Sunan Bonang pun menjawab dengan tak kalah geram, “Kamu itu iblis kok berani-beraninya bertengkar dengan manusia? Iblis kurang ajar !” “Terus kenapa Paduka Sunan? saya adalah raja!”, sahut Ki Buta Lohcaya. Sunan Bonang berkata lagi, “Mulai sekarang, buah trenggulun ini kunamakan kentos sebagai tanda pengingat kelak bahwa aku bertengkar dengan iblis kurang ajar membela rusaknya patung.”

Sunan Bonang kemudian melanjutkan perjalanannya ke arah utara. Ketika tiba waktu Ashar, beliau hendak melakukan shalat. Di luar desa tersebut ada sebuah sumur namun tidak ada timbanya (sejenis ember yang diikat tali untuk mengambil air dari sumur). Sumurnya kemudian direbahkan. Sunan Bonang kemudian mengambil airnya untuk berwudhlu kemudian shalat. Sampai sekarang sumur tadi bernama Sumur Gumuling yang artinya Sumur terguling.

Seusai shalat, Sunan Bonang kemudian meneruskan perjalanan sampai di Desa Nyahen. Di desa tersebut terdapat patung raksasa perempuan terletak di bawah pohon dadap. Ketika itu pohon dadap tersebut sedang berbunga dengan lebatnya hingga berjatuhan di kanan kiri patung raksasa tadi sampai tertutup warna merah. Sunan Bonang kagum dengan ukuran patung tersebut yang begitu besar. Patung yang menghadap ke barat dengan tinggi 16 kaki dan keliling tubuh 10 kaki tersebut, seandainya akan dipindahkan dari tempatnya, dijunjung orang delapan ratus pun tidak terangkat kecuali dengan bantuan peralatan. Tangan kanan patung tadi patahkan oleh Sunan Bonang. Dahinya dibelah.

Melihat tindakan Sunan Bonang, Ki Buta Lohcaya semakin geram, “Paduka benar-benar manusia tak tahu adat, patung raksasa baik-baik dirusak tanpa kesalahan hingga buruk jadinya, padahal itu buatan Sang Prabu Jayabaya. Apa gunanya Paduka rusak begitu?”

“Patung ini aku rusak agar tidak disembah-sembah orang, supaya tidak diberi sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu namanya kafir kufur lahir bathin sesat.”

Ki Buta Lohcaya berkata lagi, “Orang Jawa sudah tahu jika itu patung batu, tidak punya daya, tidak punya kuasa, bukan Hyang Lata Wal Hujwa. Kalaupun diberi sesaji, dibakari kemenyan, supaya para makhluk halus jangan berada di tanah atau kayu yang berguna dan menghasilkan bagi manusia. Maka makhluk halus diberi tempat di patung. Paduka usir kemana? sudah wajar brekasakan (makhluk halus) berada di gua, patung serta makan bau wangi. Makhluk halus jika mencium bau wangi badannya terasa segar, lebih senang lagi jika berada di patung utuh di tampat yang sepi teduh atau di bawah kayu yang besar. Sudah tahu bahwa alamnya makhluk halus itu bukan dengan alamnya manusia. Berada di patung Paduka aniaya. Paduka memang manusia jahil yang suka aniaya kepada sesama makhluk ciptaan Tuhan. Lebih baik orang Jawa menghormati patung yang pantas menyimpan budi nyawa. Sedang orang Arab mengatakan Kabatullah (Ka’bah), ternyata bentuknya tugu batu, itu lebih sesat!”

“Ka’bah itu buatan Kanjeng Nabi Ibrahim. Di situ pusat bumi, diberi tugu batu disujudi orang banyak. Siapa yang sujud kepada Ka’bah, Gusti Allah memberi ampunan semua kesalahan selamanya hidup di alam kebebasan,” kata Sunan Bonang.

“Apa tandanya bila mendapat ampunan Tuhan atas segala kesalahan, apa sudah mendapat tanda tangan dari Tuhan Yang Maha Agung dengan cap merah?” ujar Ki Buta Lohcaya dengan dingin.

“Kitabku menyebutkan, besok jika mati akan memperoleh kemuliaan,” sahut Sunan Bonang.

Ki Buta Lohcaya mendengus, “Mati lagi.., tahu apa.., kemuliaan nyata di dunia saja sudah korup, sesat menyembah tugu batu, jika sudah menyembah lalu mencuri. Lebih baik kepada Gunung Kelud banyak batu-batu besar ciptaan Tuhan, seperti wujud sendiri dari sabda kun, itu wajib disujudi.

Perintah Yang Maha Kuasa semua manusia harus di Baitullah, badan manusia itu Baitullah yang nyata. Sesungguhnya ciptaan Yang Maha Kuasa itu harus dijaga. Siapa saja yang bisa melihat asal mula badannya dan melihat budi hawanya itulah yang bisa untuk teladan. Meskipun siang malam melakukan shalat, jika tidak tahu dimana letak pengetahuannya sesat, maka akan sesat menyembah tugu batu, tugu batu buatan Nabi. Nabi itu manusia kekasih gusti Allah kan? Diberi wahyu nyata pintar punya ingatan yang kuat, punya ketajaman batin, mampu melihat sasmita yang belum terjadi.

Adapun yang membuat patung itu Sang Prabu Jayabaya, ia kekasih Yang Maha Kuasa, diberi wahyu mulia, pintar tajam ingatan, tajam batin, melihat sebelum terjadi. Paduka berpedoman pada tulis, manusia Jawa berpedoman pada sastra, petuah dari leluhur. Sama-sama mempercayai kitab, lebih baik mempercayai kitab sastra dari leluhur sendiri yang bekasnya masih bisa dilihat. Manusia mempercayai kitab Arab tapi belum paham keadaan di sana, bohong apa nyata, percaya kata-kata manusia pengembara. Maka Paduka datang di Jawa jual kesombongan, jual kemuliaan negeri Mekkah.

Saya tahu negeri Mekkah tanahnya panas, mahal air, tanaman tidak bisa tumbuh, hawanya panas jarang hujan. Jika manusia menalar, menyebut Mekkah itu negeri celaka, malah banyak manusia jual beli manusia. Manusia kok diperjualbelikan!

Paduka manusia durhaka, saya minta Paduka pergi dari sini, negeri Jawa sini negeri suci dan mulia, dingin dan panasnya cukupan, tanah berpasir murah air, apapun yang ditanam bisa tumbuh, yang laki-laki tampan, yang wanita cantik, luwes bicaranya. Kata Paduka ingin melihat pusatnya dunia, ya disinilah pusat dunia itu. Sekarang Paduka pertimbangkan, jika saya salah pukullah saya. Kata Paduka itu ngawur, tanda kurang nalar, kurang memahami pengetahuan budi, suka menyiksa orang lain. Yang membuat patung itu Maha Prabu Jayabaya, kesaktiannya melebihi Paduka. Apa Paduka bisa menentukkan perjalanan jaman? Sudahlah, saya minta Paduka pergi saja dari sini, jika tidak mau pergi sekarang, akan saya undang adik saya yang berada di Gunung Kelud. Paduka saya serang apa bisa menang, kemudian saya masukkan ke kawah Gunung Kelud. Paduka apa tidak akan menderita, apakah Paduka ingin berada di batu seperti saya? Silakan ke Selabale, menjadi murid saya!”

“Tidak peduli omonganmu, kamu setan iblis!” kata Sunan Bonang.

“Meskipun saya iblis, tetapi raja iblis, mulia langgeng selamanya, Paduka belum tentu mulia seperti saya, tekad Paduka kotor, suka menganiaya, maka Paduka ke tanah Jawa, karena di Arab termasuk manusia jahat. Jika Paduka mulia tentu tidak pergi dari Arab, minggat dari kesalahan, merusak adat orang lain, merusak adat agama, membuat kerusakan barang baik, menggangu agama leluhur kuna, Raja wajib menghukum, membuang Paduka ke Neraka.”
Sunan Bonang terdiam sesaat, kemudian berkata, “Pohon dadap ini kembangnya kuberi nama celung, sedang buahnya kledung. Sebab aku kecelung nalar dan keledung pikir. Jadilah saksi bahwa aku bertengkar dengan raja demit, kalah pengetahuan, kalah nalar”.

Sejak itu, buah dadap namanya kledung dan bunganya bernama celung. Sunan Bonang kemudian pamitan, “Sudah aku akan kembali ke Bonang”.

“Iya sudah, Paduka segera pergi, disini hanya membuat kacau, jika kelamaan disini malah membuat rusak. Menyebabkan susah beras, menambahi panas, menghilangkan air,” usir Ki Buta Lohcaya dengan ketus. Sunan Bonang pergi berlalu. Ki Buta Lohcaya dan wadya bala pasukannya juga pulang.
==============================================================
Wallohu a'lam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar