Kamis, 25 Juni 2009

Untuk-Nya Cukup Sisa Waktu

Untuk-Nya Cukup Sisa Waktu


Entah untuk yang ke berapa kali pagi itu shalat subuh si Fulan
tertinggal
untuk berjamaah. Waktu sudah menunjukkan pukul 05.30 pagi dan pada
jam segitu masjid sudah barang tentu kosong dari jemaah. Kemudian
dengan mata yang masih sepet Fulan beranjak untuk mengambil air
wudhu dan dilanjutkan dengan shalat subuh secara munfarid. Saking
seringnya tidak ada perasaan sesal yang singgah di benak Fulan ini.
Seolah hal yang wajar apabila shalat subuh dikerjakan pukul 05.30
pagi.

Bukan hanya itu, sebagai orang yang tinggal di kota yang padat dengan
aktivitas mengharuskan untuk selalu berburu dengan waktu. Otomatis
selepas shalat subuh sendirian tidak bisa melakukan dzikir pagi
karena harus segera merapikan diri untuk berangkat kerja, apalagi
baca quran, satu ayat pun tidak akan keburu.

Tapi entah kenapa untuk masalah pekerjaan Fulan selalu berusaha untuk
tepat waktu masuk kantor. Jam masuk kantornya adalah jam delapan
pagi dan Fulan sering sampai disana sebelum jam delapan. Setiap
pergi ke kantor Fulan selalu berusaha untuk tampil rapi dan wangi
dan hal ini sangat bertolak belakang dengan aktivitasnya ketika
bangun tidur. Aktivitas shalat subuh Fulan cukup dengan menggunakan
pakaian tidur, tanpa gosok gigi, apalagi wangi-wangian. Intinya yang
penting kewajiban sudah gugur.

Sebagai seorang karyawan Fulan selalu mendedikasikan dan mengerjakan
segala
tanggung jawabknya dengan sungguh-sungguh dan senang hati. Hal ini
diperlukan agar kinerjanya baik yang akan berakibat bagusnya karir
di kemudian hari. Karir bagus akan berbanding lurus dengan
penghasilan tentunya. Boleh di bilang Fulan ini seorang yang
perfectionist. Apabila terjadi suatu kesalahan, Fulan akan dengan
segera menelusuri akar penyebab masalahnya dan mencari solusi
terbaik sehingga masalah ini tidak muncul lagi.

Pada jam istirahat, selepas makan siang, biasanya Fulan asyik ngobrol
dengan teman-teman kerjanya. Biasanya Fulan shalat Dzuhur lima menit
menjelang bel masuk berbunyi. Walhasil shalat dzuhur yang
dikerjakannya sangat minim waktunya. Dari mulai wudhu pun terlihat
terburu-buru. Maka selepas salam Fulan langsung kembali bekerja.
Tidak ada dzikir ataupun shalat ba'diyah dzuhur.

Gambaran di atas bisa jadi merupakan refleksi dari rutinitas harian
kita. Di
sadari atau tidak terkadang kita tidak adil dalam menyikapi urusan
dunia dan akhirat. Meski kita sering mengatakan bahwa dalam hidup
ini harus seimbang antara dunia dan akhirat kita. Tapi, tanyalah ke
dalam lubuk hati ini, benarkah perkataan itu? Benarkah kita sudah
memposisikan timbangan dunia dan timbangan akhirat pada posisi yang
sama tinggi jika takarannya harus seimbang?

Kalau boleh jujur kita lebih cenderung memperhatikan kepeluan dunia
kita.
Dalam arti nilai-nilai agama jarang sekali dilibatkan dalam seluruh
aktivitas kita.

Dalam pekerjaan kita sering berusaha untuk datang tepat waktu. Jika
sekali
saja terlambat maka keesokan harinya akan bangun dan berangkat lebih
awal agar tidak terlambat lagi. Tapi kita jarang sekali khawatir
karena telah mengakhirkan shalat, bahkan kalau sedang asyik biasanya
kita dengan tenang meninggalkan kewajiban tersebut tanpa ada sesal
yang singgah di hati.

Kita selalu berpenampilan rapi, harum dan segar setiap pergi ke kantor.
Kita selalu memberikan penampilan terbaik dalam bekerja bahkan
memakai seragam sesuai peraturan perusahaan. Namun dalam sujud
kepada Alloh kita cukup memakai kaos oblong dan sarung seadanya.
Bahkan hal yang wajar memakai pakaian yang terlihat aurat dalam
keseharian meski dalam aturan Alloh kewajiban untuk menutupnya cukup
jelas.

Agar mudah mendapatkan pekerjaan banyak dari kita sekolah sampai jenjang

yang tinggi. Latar belakang pendidikan akan mempengaruhi masa depan
kita nantinya, terutama dalam masalah jenjang karir. Lagi, sampai
saat ini kita masih belum mengetahui bagaimana cara wudhu yang baik
sesuai dengan petunjuk nabi. Artinya, bagaimana shalat kita diterima
apabila kita keliru dalam berwudhu. Ajaibnya hal itu tidaklah
dianggap terlalu penting karena tidak pernah ditanyakan dalam setiap
interview di perusahaan.

Masih banyak hal-hal lain dimana kita tidak adil dalam menempatkan
antara
dunia dan akhirat. Padahal, seandainya kita mau sedikit mempelajari,
apa yang kita lakukan dalam 24 jam bisa bernilai ibadah. Namun untuk
mempelajarinya badan ini sudah terlampau letih oleh setumpuk
pekerjaan. Saking letihnya kita sering ketiduran untuk melaksanakan
shalat isya. Namun, meskipun badan ini letih terkadang kondisi badan
bisa menjadi fit kembali ketika ada panggilan dari atasan meskipun
itu tiba-tiba.

Begitu pun pada hari libur di akhir pekan. Dengan alasan istirahat kita
menghabiskan waktu dengan tidur, nonton tv, shopping, ke bioskop,
hang out, dll. Sangat jarang dari kita untuk meluangkan waktu sesaat
untuk sekedar membaca satu ayat dari ribuan firman Alloh. Apalagi
membaca satu bab tata cara berwudhu. Bahkan meskipun tidak dalam
kondisi bekerja kita masih saja tidak dapat melaksanakan shalat
tepat pada waktunya. Tetapi jika sang pacar meminta waktu untuk
bertemu, kita akan dengan sigap memenuhi permintaannya itu tanpa
pikir panjang dan tepat waktu.

Tidak salah jika sesakali kita memanjakan diri dengan hiburan di tengah
kesibukan sehari-hari. Tapi apakah tidak ada waktu untuk sekedar
bercakap-cakap dengan Alloh meski dengan shalat di awal waktu? Atau
sekedar membaca satu ayat saja setiap minggunya?

Sebenarnya hukum untuk mendapatkan kebahagiaan dunia sama dengan
kebahagiaan
akhirat. Kita akan mendapatkan kemapanan hidup apabila memiliki
bekal ilmu yang cukup dan bersungguh-sungguh bekerja. Tentunya untuk
mendapatkan ilmu tersebut kita memerlukan waktu untuk mempelajarinya
bahkan memerlukan biaya yang tidak sedikit. Semua itu kita lakukan
dan jalani dengan kerelaan.

Untuk mendapatkan akhirat pun demikian. Diperlukan ilmu yang cukup dan
kesungguhan untuk mengamalkannya. Ilmu tersebut pun harus diusahakan
dengan cara menuntut ilmu dan itu memerlukan waktu dan biaya. Namun
kenapa kita menjadi pelit untuk segala hal yang dapat membuat kita
lebih memahami ajaran islam. Membeli buku aqidah seharga lima puluh
ribu akan terasa mahal apabila dibandingkan dengan jalan-jalan yang
bisa menghabiskan uang sampai ratusan ribu rupiah.

Berhenti sejenak dan merenungi atas apa yang telah kita kerjakan mungkin

salah satu sikap yang bijak. Mencoba berfikir atas semua aktivitas
kita apakah sudah proporsional dan adilkah kebutuhan dunia dan
akhirat kita tunaikan?

Akan terlalu berat mungkin apabila kita mengikuti Rasulullah dalam semua

hal. Paling tidak ada proses untuk berkeinginan mengenal Alloh dalam
ibadah-ibadah pokok dan milibatkan-Nya dalam seluruh aktivitas kita.
Setidaknya untuk tidak lupa mengucapkan basmalah dalam setiap
memulai aktivitas sehingga akan bernilai kebaikan. Alloh pun tidak
membebankan syariat-Nya melainkan sesuai dengan kemampuan hamba-Nya.

Wallahu'alam


Renungan
kala menyadari diri ini telah banyak berbuat dzalim atas
hak-hak-Nya. Diri ini memang bukan seorang hamba yang taat melainkan
penuh dengan kekhilafan. Namun masih berharap untuk datangnya
secercah hidayah yang akan menggerakkan hati ini untuk lebih dekat
mengenal Tuhannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar