Kamis, 25 Juni 2009

Tertawalah sebelum tertawa itu dilarang"?.

Dalam menjalani kehidupan di dunia
ini kita bergelut dan berpacu dengan waktu. Waktu bukan jam. Jam
bisa rusak, jarumnya bisa saja menunjuk pada arah yang salah.
Tetapi tidak demikian dengan waktu.
Ia selalu tetap, mantap dan konsisten menandai perubahan dengan arah
yang selalu sama dari sesuatu yang disebut "dulu",
kemudian "sekarang", lalu disusul dengan "nanti".

Perubahan waktu sekaligus merupakan
hukum alam sehingga tidak ada perubahan di alam ini yang lepas dari
sang waktu. Begitu teraturnya waktu sehingga dia dijadikan sandaran
sekaligus pembatas dalam memaknai sebuah perubahan.

Hakikat Waktu
Esensi dari waktu adalah
keteraturan. Itu sebabnya, bagi seorang Muslim, waktu sangat penting
artinya. Bahkan dalam QS Al-'Ashr:1-3 Allah SWT. bersumpah dengan
waktu. Hal tersebut menunjukkan betapa kita harus mempergunakan
waktu hidup di dunia ini dengan sebaik-baiknya.
Jika yang dijadikan ukuran perubahan
waktu adalah detik, menit, jam, hari, dan seterusnya, maka ukuran
perubahan pada manusia adalah kualitas iman dan amal salehnya.
Terlebih dalam ayat tersebut
dinyatakan, semua manusia akan merugi kecuali mereka yang beriman
dan beramal saleh, serta saling menasihati dalam kebenaran dan
kesabaran.
Bagi seorang Muslim, pada dasarnya
setiap pergantian waktu, detik demi detik, hari demi hari, bahkan
tahun demi tahun, merupakan momen penting untuk melakukan
introspeksi diri (muhasabah) menuju kualitas iman, ilmu, dan amal
yang lebih baik.
Islam mengajarkan, hari-hari yang
kita lalui hendaknya selalu lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
Dengan kata lain, setiap Muslim dituntut untuk selalu mengembangkan
diri ke arah yang lebih baik dari hari ke hari.
Rasulullah SAW
menyatakan, "Barangsiapa yang hari ini lebih baik dari hari kemarin,
ia adalah orang yang beruntung. Bila hari ini sama dengan hari
kemarin, berarti ia orang merugi. Dan jika hari ini lebih jelek dari
hari kemarin, maka ia adalah orang celaka".
Kita harus senantiasa mawas diri,
mungkin selama ini kita terbuai kehidupan dunia, waktu kita habiskan
untuk mengejar kesenangan duniawi dengan mengabaikan bekal untuk
kehidupan akhirat.
Umar bin Khattab
mengingatkan, "Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab. Timbanglah amal-
amalmu sebelum ia ditimbang. Bersiaplah untuk menghadapi hari yang
amat dahsyat. Pada hari itu segala sesuatu yang ada pada dirimu
menjadi jelas, tidak ada yang tersembunyi".

Pengenalan Diri
Oleh karena itu, introspeksi diri
harus terus dilakukan untuk menuju kehidupan yang lebih bermakna.
Kehidupan di dunia hanyalah sementara. Kita hanya singgah sebentar
sebelum menuju alam akhirat yang kekal abadi.
Di "terminal antara" inilah kita
diberi waktu untuk mendulang bekal berupa amal saleh sebanyak-
banyaknya. Pergantian tahun, juga hari demi hari, seyogyanya
mengingatkan kita bahwa "jatah hidup" kita di dunia semakin
berkurang.
Imam Hasan Al-Bashri
menyatakan, "Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah bagian dari
hari, apabila satu hari berlalu, maka berlalu pulalah sebagian
hidupmu".
Dalam proses introspeksi, kita bisa
memulainya dengan melakukan "pengenalan diri" (ma'rifatunnafsi).
Menurut Imam Al-Ghazali, pengetahuan tentang diri adalah kunci
pengetahuan tentang Tuhan. Dalam hadis Nabi SAW dinyatakan
pula, "Siapa yang mengenali dirinya sendiri, ia akan mengenali
Tuhannya".
"Mengenali diri" bukanlah dengan
mengenali bentuk fisik diri kita, bukan pula tentang sekadar tahu
bahwa kalau kita lapar harus makan, dan seterusnya.
Pengenalan tentang diri yang
sebenarnya adalah pengetahuan tentang, siapakan aku, dari mana aku
datang, kemana aku akan pergi, dan di manakah sebenarnya letak
kebahagiaan itu.
Pertanyaan-pertanyaan tersebut tentu
saja menuntun kita untuk mengenal diri sendiri yang pada gilirannya
akan mengantarkan kita pada ma'rifatullah (mengenal Allah). Jika
kita sudah "mengenali" Allah SWT melalui sifat-sifat-Nya tentunya
keimanan akan meningkat dan semakin kuat. Jika sikap tauhid tersebut
sudah kokoh, tingkat ketakwaan pun kian mantap, dan hasilnya adalah
kebahagiaan dunia akhirat.
Barangkali secara sederhana,
pertanyaan-pertanyaan di atas dapat dijawab, kita adalah manusia,
makhluk dan hamba Allah SWT yang harus mengabdi kepada-Nya, khalifah-
Nya di muka bumi yang harus mengemban amanah-Nya (QS Adz-Dzariat:
56).
Kita datang dari "alam ruh" untuk
menjalani kehidupan dunia sebagai ujian dan cobaan dari-Nya (QS Al-
Kahfi:7). Kita akan pergi menuju "alam akhirat" yang kekal untuk
mempertanggung-jawabkan segala amal yang pernah dilakukan.
Jawaban sederhana dan singkat itu
tentu saja membutuhkan penelaahan lebih jauh dan penggalian melalui
Al Quran dan hadis, plus renungan untuk mencari kebenaran. Mengenal
diri berarti mengetahui hakikat hidup dan tujuannya, termasuk
mengetahui arti keberadaan kita di dunia ini.
Orang yang "lupa diri" tentu akan
mengabaikan status dan fungsi kehidupannya. Ia tidak akan peduli
tentang esensi hidupnya, yang pada gilirannya akan mengabaikan
perintah dan larangan Tuhannya.
Salah satu cara untuk tetap "sadar
diri" adalah merenungi asal penciptaan kita. Siapa pun kita saat
ini, apapun pangkat yang melekat pada kita, jangan pernah lupa bahwa
kita diciptakan dari nutfah (sperma) yang tak berharga.
Dan ketika mati, tubuh akan menyatu
dengan tanah, terurai dan tinggal tulang belulang. Seindah apapun
tubuh kita, secantik bagaimanapun paras kita, tak aka ada artinya
jika ajal sudah merenggut.

Sementara ruh kita kembali menghadap
Yang Maha Kuasa untuk mempertanggungjawabkan semua amal perbuatan,
rezeki, amanat jabatan, termasuk sejauh mana implementasi perjanjian
primordial kita dengan Allah di "alam ruh" di mana kita mengakui Dia
sebagai Tuhan (QS. Al-A'raf:172).
Di akhir tulisan sederhana ini,
penulis mengajak untuk menyimak kisah berikut. Pada waktu Rasulullah
SAW melakukan perjalanan spiritual (isra mikraj) bersama Malaikat
Jibril AS. Keduanya melalui tempat di mana seorang wanita tua yang
tetap menampakkan kecantikannya. Wanita tua yang menunggang kuda itu
berteriak-teriak menggoda Rasulullah SAW, "Ya Muhammad, Ya
Muhammad!", tetapi Beliau tidak menggubrisnya.
Setelah berlalu, Rasulullah pun
menanyakan fenomena yang dilihatnya kepada Jibril. "Itulah ibarat
dunia, ia makin menua, namun tetap cantik dan kian mempesona untuk
dipandang dan dinikmatià", kata Jibril menjelaskan. Kiranya, kisah
di atas bisa menjadi starting point renungan kita pada tahun baru
ini.
Kisah itu seharusnya mampu
menyadarkan kita, bahwa setiap pergantian tahun itu, pada satu sisi,
merupakan pertambahan usia bagi kita, juga pertanda dunia yang kita
tempati ini makin renta tetapi selalu tampak mempesona.
Sehingga banyak yang tertipu dan
terjerumus ke dalam lumpur kesenangan duniawi yang sementara.
Sayangnya, banyak orang (termasuk kita?) malah merayakannya dengan
bersenang-senang.
Kita seakan tidak peduli bahwa dunia
ini makin renta dan kian dekat pada "kematiannya" (kiamat). Maka
dari itu, "Hendaklah setiap diri memperhatikan (melakukan
introspeksi) tentang apa-apa yang telah diperbuatnya untuk
menghadapi hari esok (alam akhirat)" (QS. 59:18). Semoga masih ada
waktu untuk kita memaknai pergantian tahun ini dengan introspeksi
diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar