Sabtu, 27 Juni 2009

Serial Salimul Aqidah : Tauhid Rububiyyah, Uluhiyyah dan Ashma wash Shifat

Tauhid Al Uluhiyah, Ar Rububiyyah dan Ashma wash Shifat

Oleh : Suherman, S. Ag.



I. TAUHID RUBUBIYYAH


Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya"
(QS. Al Kahfi : 110)


Pengertian Tauhid Rububiyyah

Tauhid Rububiyah adalah mengesakan Allah SWT dalam segala perbuatan-Nya, seperti dalam hal mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, serta mengatur makhluk.

Allah SWT berfirman :
"Sesungguhnya Rabb kalian ialah Allah yang telah menciptakan langit dan bumi dalam enam masa, lalu Dia tinggi di atas `Arsy. Dia menutupkan malam kepada siang yang mengikutinya dengan cepat, dan (diciptakan-Nya pula) matahari, bulan dan bintang-bintang (masing-masing) tunduk kepada perintah-Nya. Ingatlah, menciptakan dan memerintah hanyalah hak Allah. Maha Suci Allah, Tuhan semesta alam". (QS. Al-A'raf : 54)
"Kepunyaan Allah-lah kerajaan langit dan bumi, Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, Dia memberikan anak-anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki dan memberikan anak-anak lelaki kepada siapa yang Dia kehendaki". (QS. Asy Syura : 49)
"Kepunyaan-Nyalah kerajaan langit dan bumi, Dia menghidupkan dan mematikan, dan Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu". (QS. Al-Hadid: 2)


Pengertian Rabb Dalam Al-Qur'an Dan As-Sunnah, Serta Sikap Manusia Terhadap Tauhid Rububiyyah


1. Pengertian Rabb Dalam Al Qur'an Dan As Sunnah

Rabb adalah bentuk mashdar yang berarti mengembangkan sesuatu dari satu keadaan pada keadaan lain, sampai pada keadaan yang sempurna.

Jadi Rabb adalah kata mashdar yang dipinjam untuk fa'il (pelaku). Kata-kata Ar-Rabb tidak disebut sendirian, kecuali untuk Allah yang menjamin kemashlahatan seluruh makhluk. Adapun jika diidhafahkan (ditambahkan kepada yang lain), maka hal itu bisa untuk Allah dan bisa untuk lain-Nya, Seperti firman Allah SWT dalam Surah Al Fatihah : 2

Segala puji bagi Allah, Rabb semesta alam.

Juga firman Allah SWT dalam surah Asy-Syu'ara : 26

Musa Berkata (pula): "Rabb kamu dan Rabb nenek-nenek moyang kamu yang dahulu".

"Terangkanlah keadaanku kepada tuanmu." Maka syaitan menjadikan dia lupa menerangkan (keadaan Yusuf) kepada tuannya.

Dan firman Allah SWT dalam Surah Yusuf : 50

"Kembalilah kepada tuanmu"

Dan dalam Surah Yusuf : 41

Adapun salah seorang diantara kamu berdua, akan memberi minuman tuannya dengan khamar

Rasulullah SAW bersabda dalam hadits, (tentang unta yang hilang), : "Sampai sang pemilik menemukannya.".

Maka jelaslah bahwa kata Rabb diperuntukkan untuk Allah jika ma'rifat dan mudhaf, sehingga kita mengatakan misalnya: "Ar-Rabbu" (Allah SWT) "Rabbul aalamin" (Penguasa semesta alam), atau "Rabbun naas" (Tuhan manusia) dan tidak diperuntukkan kepada selain Allah kecuali jika diidhafahkan, misalnya: "Rabbud daar" (tuan rumah), atau "Rabbul ibil" (pemilik unta) dan lainnya.

Makna "Rabbul aalamin" adalah Allah Pencipta alam semesta, Pemilik, Pengurus dan Pembimbing mereka dengan segala nikmat-Nya, serta dengan mengutus para rasul-Nya, menurunkan kitab-kitab-Nya dan Pemberi balasan atas segala perbuatan makhluk-Nya.

Imam Ibnul Qoyyim berkata bahwa konsekuensi rububiyah adalah adanya perintah dan larangan kepada hamba, membalas yang berbuat baik dengan kebaikan, serta menghukum yang jahat atas kejahatannya.


2. Kaum Musyrikin Mengakui Tauhid rububiyyah dan Pandangan Mereka tentang Rabb

Tauhid inilah yang terpatri di dalam jiwa-jiwa manusia. Tidak ada seorangpun dari manusia yang menolak hal ini baik yang mukmin maupun yang kafir. Sebagaimana firman Allah SWT tentang orang-orang kafir:



Dan Sesungguhnya jika kamu tanyakan kepada mereka: "Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?" tentu mereka akan menjawab: "Allah". Katakanlah : "Segala puji bagi Allah"; tetapi kebanyakan mereka tidak Mengetahui. (QS. Luqman : 25)
Allah SWT juga berfirman tentang mereka dalam Surah Yusuf : 106
"Dan tidaklah sebahagian besar dari mereka beriman kepada Allah, melainkan dalam keadaan mempersekutukan Allah (dengan sembahan-sembahan lain)".
Mujahid rahimahullah berkata, "Iman mereka (adalah) ucapan mereka : "Allah pencipta kami, yang memberi rezki kepada kami dan yang mematikan kami", maka ini adalah iman bersamaan dengan kesyirikan (berupa) penyembahan mereka kepada selain-Nya"

Keyakinan kaum musyrikin bahwa sembahan-sembahan mereka (hanya) dijadikan wasilah kepada Allah, bukannya mereka yang mencipta dan yang memberi rezeki.
Kaum musyrikin tidak pernah meyakini bahwa sembahan-sembahan mereka menjadi sekutu Allah dalam penciptaan, bahkan mereka meyakini bahwa hal itu (penciptaan) hanya milik Allah semata, dan (mereka meyakini) bahwa sembahan-sembahan mereka (hanya) dijadikan sebagai wasilah kepada Allah dan dijadikan sebagai pemberi syafa'at di sisi Allah. Allah SWT berfirman :
"Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". Sesungguhnya Allah akan memutuskan di antara mereka tentang apa yang mereka berselisih padanya. Sesungguhnya Allah tidak menunjuki orang-orang yang pendusta dan sangat ingkar" (QS. Az-Zumar : 3)

Dari uraian di atas kita memahami bahwa Allah SWT menciptakan manusia dengan fitrah mengakui tauhid serta mengetahui Rabb Sang Pencipta, sebagaimana Firman Allah SWT dalam Surah Ar Rum 30

Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui.

Allah SWT juga berfirman dalam Surah Al A'raf : 172

Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",

Jadi mengakui rububiyah Allah dan menerimanya adalah sesuatu yang fitri, sedangkan syirik adalah unsur yang datang kemudian. Rasulullah SAW bersabda : "Setiap bayi dilahirkan atas dasar fitrah, maka kedua orang tuanyalah yang menjadikannya Yahudi, Nasrani atau Majusi." (HR. Al-Bukhari dan Muslim).

Seandainya seorang manusia dibiarkan fitrahnya, pasti ia akan mengarah kepada tauhid yang dibawa oleh para Rasul, yang disebutkan oleh kitab-kitab suci dan ditunjukkan oleh alam. Akan tetapi bimbingan yang menyimpang dan lingkungan itulah faktor penyebab yang mengubah pandangan si bayi. Dari sanalah seorang anak manusia mengikuti “orang tuanya” dalam kesesatan dan penyimpangan. Allah SWT berfirman dalam hadits qudsi yang artinya : "Aku ciptakan hamba-hamba-Ku dalam keadaan lurus bersih, maka syetanlah yang memalingkan mereka." (HR. Muslim dan Ahmad).

Maksudnya, memalingkan mereka kepada berhala-berhala dan menjadikan mereka itu sebagai tuhan selain Allah. Maka mereka jatuh dalam kesesatan, keterasingan, perpecahan dan perbedaan, karena masing-masing kelompok memiliki tuhan sendiri-sendiri. Ketika mereka berpaling dari Tuhan yang hak, maka mereka akan jatuh ke dalam tuhan-tuhan palsu, sebagaimana firman Allah dalam Surah Yunus 32

"Maka (Zat yang demikian) itulah Allah Tuhan kamu yang sebenarnya, maka tidak ada sesudah kebenaran itu, melainkan kesesatan."

Syirik dalam tauhid rububiyah, yakni dengan menetapkan adanya dua pencipta yang serupa dalam sifat dan perbuatannya, adalah mustahil. Akan tetapi sebagian kaum musyrikin meyakini bahwa tuhan-tuhan mereka memiliki sebagian kekuasaan dalam alam semesta ini. Syetan telah mempermainkan mereka dalam menyembah tuhan-tuhan tersebut, dan syetan mempermainkan setiap kelompok manusia berdasarkan kemampuan akal mereka.

Ada sekelompok orang yang diajak untuk meyembah orang-orang yang sudah mati dengan jalan membuat patung-patung mereka sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Nabi Nuh as. Ada pula sekelompok lain yang membuat berhala-berhala dalam bentuk planet-planet. Mereka menganggap planet-planet itu mempunyai pengaruh terhadap alam semesta dan isinya. Maka mereka membuatkan rumah-rumah untuknya serta memasang juru kuncinya. Mereka pun berselisih pandang tentang penyembahannya, ada yang menyembah matahari, ada yang menyembah bulan dan ada pula yang menyembah planet-planet lain, sampai mereka membuat piramida-piramida, dan masing-masing planet ada piramidanya sendiri-sendiri. Ada pula golongan yang menyembah api, yaitu kaum majusi. Juga ada kaum yang menyembah sapi, seperti yang ada di India, kelompok yang meyembah malaikat, kelompok yang menyembah pohon dan batu besar. Juga ada yang menyembah makam atau kuburan yang dikeramatkan. Semua ini penyebabnya karena mereka membayangkan dan menggambarkan benda-benda tersebut mempunyai sebagian dari sifat-sifat rububiyah. Ada pula yang menganggap berhala-berhala itu mewakili hal-hal yang ghaib. Imam Ibnul Qoyyim berpendapat :

"Pembuatan berhala pada mulanya adalah penggambaran terhadap tuhan yang ghaib, lalu mereka membuat patung berdasarkan bentuk dan rupanya agar bisa menjadi wakilnya serta mengganti kedudukannya. Kalau tidak begitu, maka sesungguhnya setiap orang yang berakal tidak mungkin akan memahat patung dengan tangannya sendiri kemudian meyakini dan mengatakan bahwa patung pahatannya sendiri itu adalah tuhan sembahannya"

Begitu pula para penyembah kuburan, baik dahulu maupun sekarang, mereka mengira orang-orang mati itu dapat membantu mereka, juga dapat menjadi perantara antara mereka dengan Allah dalam pemenuhan hajat-hajat mereka. Mereka mengatakan:

"Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya". (QS. Az-Zumar : 3).
"Dan mereka menyembah selain daripada Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanfaatan, dan mereka berkata: 'Mereka itu adalah pemberi syafa'at kepada kami di sisi Allah". (QS. Yunus : 18).

Sebagian kaum musyrikin Arab dan Nasrani mengira tuhan-tuhan mereka adalah anak-anak Allah. Kaum musyrikin Arab menganggap malaikat adalah anak-anak perempuan Allah, sedangkan orang Nasrani menyembah Isa as atas dasar anggapan ia sebagai anak laki-laki Allah.


3. Tauhid Rububiyyah Mengharuskan Adanya Tauhid Uluhiyyah

Hal ini berarti siapa saja yang mengakui tauhid rububiyah untuk Allah, dengan mengimani tidak ada pencipta, pemberi rizki dan pengatur alam kecuali Allah, maka ia juga harus mengakui bahwa tidak ada yang berhak menerima ibadah dengan segala macamnya kecuali Allah Subhanahu wa Ta'ala . Dan itulah tauhid uluhiyah.


II. TAUHID ULUHIYYAH


Allah, tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan dia yang hidup kekal lagi terus menerus mengurus (makhluk-Nya); tidak mengantuk dan tidak tidur. Kepunyaan-Nya apa yang di langit dan di bumi. tiada yang dapat memberi syafa'at di sisi Allah tanpa izin-Nya? Allah mengetahui apa-apa yang di hadapan mereka dan di belakang mereka, dan mereka tidak mengetahui apa-apa dari ilmu Allah melainkan apa yang dikehendaki-Nya
(QS. Al Baqarah : 255)

"Wahai manusia, sembahlah Rabb kalian Yang telah menciptakan kalian dan orang-orang yang sebelum kalian, agar kalian bertakwa"
(QS. Al-Baqarah : 21)

Tauhid uluhiyah adalah pengakuan dan keyakinan bahwa Allah adalah satu-satunya Dzat yang berhak disembah. Pengakuan tersebut selanjutnya direalisasikan dalam bentuk penyembahan, ibadah dan pengharapan dari setiap do'a-do'anya. Sebagian ulama mendefinisikan tauhid uluhiyah sebagai puncak rasa cinta dan keta'atan kepada Allah. Dengan tauhid uluhiyah ini seorang hamba bisa disebut muslim, karena telah melaksanakan perintah-perintah agama, yaitu ibadah. Maka bisa dikatakan bahwa bentuk lahir dari tauhid uluhiyah adalah menjalankan rukun-rukun Islam. Seorang hamba bisa saja telah mencapai tauhid rububiyah, namun belum mencapai tauhid uluhiyah, seperti seseorang yang telah mempercayai keberadaan Allah namun belum mau menegakkan rukun-rukun Islam. Karena ilah maknanya adalah ma'bud (yang disembah). Maka tidak ada yang diseru dalam do'a kecuali Allah, tidak ada yang dimintai pertolongan kecuali Dia, tidak ada yang boleh dijadikan tempat bergantung kecuali Dia, tidak boleh menyembelih kurban atau bernadzar kecuali untuk-Nya, dan tidak boleh mengarahkan seluruh ibadah kecuali untuk-Nya dan karena-Nya semata.

Jadi, tauhid rububiyah adalah bukti wajibnya tauhid uluhiyah . Karena itu Allah sering membantah orang yang mengingkari tauhid uluhiyah dengan tauhid rububiyah yang mereka akui dan yakini. Seperti firman-Nya dalam Surah Al Baqarah :

21. Hai manusia, sembahlah Tuhanmu yang Telah menciptakanmu dan orang-orang yang sebelummu, agar kamu bertakwa,
22. Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; Karena itu janganlah kamu mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah, padahal kamu Mengetahui.

Allah memerintahkan mereka bertauhid uluhiyah, yaitu menyembah-Nya dan beribadah kepada-ya. Allah SWT menunjukkan dalil kepada mereka dengan tauhid rububiyah, yaitu penciptaan-Nya terhadap manusia dari yang pertama hingga yang terakhir, penciptaan langit dan bumi serta seisinya, penurunan hujan, penumbuhan tumbuh-tumbuhan, serta pengeluaran buah-buahan yang menjadi rizki bagi para hamba. Maka sangat tidak pantas bagi mereka jika menyekutukan Allah dengan yang lain-Nya; dari benda-benda atau pun orang-orang yang mereka sendiri mengetahui bahwa ia tidak bisa berbuat sesuatu pun dari hal-hal tersebut di atas dan lainnya.

Maka jalan fitri untuk menetapkan tauhid uluhiyah adalah berdasarkan tauhid rububiyah. Karena manusia pertama kalinya sangat bergantung kepada asal kejadiannya, sumber kemanfaatan dan kemadharatannya. Setelah itu berpindah kepada cara-cara bertaqarrub lepada-Nya, cara-cara yang bisa membuat ridha-Nya dan yang menguatkan hubungan antara dirinya dengan Tuhannya. Maka tauhid rububiyah adalah pintu gerbang dari tauhid uluhiyah. Karena itu Allah ber-hujjah atas orang-orang musyrik dengan cara ini. Dia juga memerintahkan Rasul-Nya untuk ber-hujjah atas mereka seperti itu. Allah SWT berfirman dalam Al An'aam : 102:

(yang memiliki sifat-sifat yang) demikian itu ialah Allah Tuhan kamu; tidak ada Tuhan selain Dia; Pencipta segala sesuatu, Maka sembahlah Dia; dan dia adalah pemelihara segala sesuatu.

Tauhid uluhiyah inilah yang menjadi tujuan dari penciptaan manusia, sebagaimana firman-Nya dalam Surah Adz Dzariyaat : 56

"Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka menyembahKu."

Arti " ya'buduun " adalah mentauhidkan-Ku dalam ibadah. Seorang hamba tidaklah menjadi muwahhid hanya dengan mengakui tauhid rububiyah semata, tetapi ia harus mengakui tauhid uluhiyah serta mengamalkannya. Kalau tidak, maka sesungguhnya orang musyrik pun mengakui tauhid rububiyah, tetapi hal ini tidak membuat mereka masuk dalam Islam, bahkan Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam memerangi mereka. Padahal mereka mengakui tauhid rububiyyah seperti yang sudah diuraikan di atas

Barangsiapa mengira bahwa tauhid itu hanya meyakini wujud Allah, atau meyakini bahwa Allah adalah Al-Khaliq yang mengatur alam, maka sesungguhnya orang tersebut belumlah mengetahui hakikat tauhid yang dibawa oleh para Rasul. Karena sesungguhnya ia hanya mengakui sesuatu yang diharuskan, dan meninggalkan sesuatu yang mengharuskan; atau berhenti hanya sampai pada dalil tetapi ia meninggalkan isi dan inti dari dalil tersebut yang seharusnya juga ia yakini dan dia amalkan.

Di antara kekhususan ilahiyah adalah kesempurnaan-Nya yang mutlak dalam segala segi, tidak ada cela atau kekurangan sedikit pun. Ini mengharuskan semua ibadah mesti tertuju kepada-Nya; pengagungan, penghormatan, rasa takut, do'a, pengharapan, taubat, tawakkal, minta pertolongan dan penghambaan dengan rasa cinta yang paling dalam, semua itu wajib secara akal, syara' dan fitrah agar ditujukan kepada Allah semata. Jika seorang hamba beribadah sesuai dengan apa yang diinginkan syariat, ikhlas hanya untuk Allah, serta tidak menjadikan sekutu bagi-Nya dalam ibadah tersebut, maka inilah yang dinamakan tauhid uluhiyah. Tauhid inilah yg sebenar dituntut oleh Allah, yaitu mengesakan Allah SWT dalam hal ibadah.



III. TAUHID ASMA WA ASH SHIFAT

22. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, Dia-lah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang.
23. Dialah Allah yang tiada Tuhan selain Dia, raja, yang Maha suci, yang Maha Sejahtera, yang Mengaruniakan Keamanan, yang Maha Memelihara, yang Maha Perkasa, yang Maha Kuasa, yang memiliki segala Keagungan, Maha Suci Allah dari apa yang mereka persekutukan.
24. Dialah Allah yang Menciptakan, yang Mengadakan, yang membentuk Rupa, yang mempunyai asmaaul Husna. bertasbih kepadanya apa yang di langit dan bumi. dan dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.
(QS. Al Hasyr : 22-24)


Hanya milik Allah asmaa-ul husna, maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan.(QS. Al A'raaf : 180)

Tauhid Asma wa Ash Sifat yaitu tauhid bahwa Allah mempunyai nama dan sifat yang sempurna, dengan mengakui dan mempercayai nama-nama dan sifat-sifat Allah yang tercantum dalam kitab suci Al Qur'an dan yang diceritakan oleh Nabi-Nya Muhammad SAW. Tauhid Asma wash Shifat lebih merupakan persepsi hamba terhadap Tuhannya dengan pengakuan bahwa Tuhannya adalah Yang Maha Sempurna.

Iman kepada nama-nama dan sifat-sifat Allah Subhanahu wa Ta'ala yakni menetapkan nama-nama dan sifat-sifat yang sudah ditetapkan Allah untuk diri-Nya dalam kitab suci-Nya atau sunnah rasul-Nya dengan cara yang sesuai dengan kebesaran-Nya tanpa Tahrif (penyelewengan), Ta'thil (penghapusan), Takyif (menanyakan bagaimana?), dan Tamsil (menyerupakan).

Maka siapa saja yang mengingkari nama-nama Allah dan sifat-sifat-Nya atau menamakan Allah dan menyifati-Nya dengan nama-nama dan sifat-sifat makhluk-Nya, atau menta'wilkan dari maknanya yang benar, maka dia telah berbicara tentang Allah tanpa ilmu dan berdusta terhadap Allah dan Rasul-Nya. Allah memerintahkan kepada kita untuk menyeru kepada-Nya dengan menggunakan nama-nama yang telah ditetapkan-Nya. Hal ini menunjukan bahwa Rububiyah dan Uluhiyah-Nya mengharuskan adanya Asma dan sifat Allah. Allah menetapkan asma-Nya sendiri yang kesemuanya adalah husna, sangat baik. Asma Allah mengandung makna dan sifat yang sempurna.

Dalam perkara ini ada dua golongan yang tersesat, yaitu:

1. Golongan Muaththilah, yaitu mereka yang mengingkari nama-nama dan sifat-sifat Allah atau mengingkari sebagiannya saja. Menurut perkiraan mereka, menetapkan nama-nama dan sifat itu kepada Allah dapat menyebabkan tasybih (penyerupaan), yakni penyerupaan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya. Pendapat ini jelas keliru karena:

a. Sangkaan itu akan mengakibatkan hal-hal yang bathil atau salah, karena Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menetapkan untuk diri-Nya nama-nama dan sifat-sifat, serta telah menafikan sesuatu yang serupa dengan-Nya. Andaikan menetapkan nama-nama dan sifat-sifat itu menimbullkan adanya penyerupaan, berarti ada pertentangan dalam kalam Allah serta sebagian firman-Nya akan menyalahi sebagian yang lain.

b. Kecocokan antara dua hal dalam nama atau sifatnya tidak mengharuskan adanya persamaan. Anda melihat ada dua orang yang keduanya manusia, mendengar, melihat, dan berbicara, tetapi tidak harus sama dalam makna-makna kemanusiaannya, pendengarannya, penglihatannya, dan pembicaraannya. Kita juga melihat beberapa binatang yang punya tangan, kaki, dan mata, tetapi kecocokannya itu tidak mengharuskan tangan, kaki, dan mata mereka sama.Apabila antara makhlluk-makhluk yang cocok dalam nama atau sifatnya saja jelas memiliki perbedaan, maka tentu perbedaan antara Al Khaliq (Pencipta) dan makhluk (yang diciptakan) akan lebih jelas lagi.

2. Golongan Musyabbihah, yaitu golongan yang menetapkan nama-nama dan sifat-sifat, tetapi menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya. Mereka mengira hal ini sesuai dengan nash-nash Al Qur'an, karena Allah berbicara dengan hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahaminya. Anggapan ini jelas keliru ditinjau dari beberapa hal, antara lain:

a. Menyerupakan Allah Subhanahu wa Ta'ala dengan makhluk-Nya jelas merupakan sesuatu yang bathil, menurut akal maupun syara'. Padahal tidak mungkin nash-nash kitab suci Al Qur'an dan Sunnah rasul menunjukkan pengertian yang bathil

b. Allah Ta'ala berbicara dengan hamba-hamba-Nya dengan sesuatu yang dapat dipahami dari segi asal maknanya. Hakikat makna sesuatu yang berhubungan dengan Dzat dan Sifat Allah adalah hal yang hanya diketahui oleh Allah saja. Apabila Allah menetapkan untuk diri-Nya bahwa Dia Maha Mendengar, maka pendengaran itu sudah maklum dari segi maknanya, yaitu menemukan suara-suara. Tetapi hakikat hal itu dinisbatkan kepada pendengaran Allah tidak maklum, karena hakikat pendengaran jelas berbeda, walau pada makhluk sekalipun. Jadi perbedaan hakikat itu antara Pencipta dan yang diciptakan jelas lebih jauh berbeda. Apabila Allah SWT memberitakan tentang diri-Nya bahwa Dia bersemayam di atas Arsy-Nya, maka bersemayam dari segi asal maknanya sudah maklum, tetapi hakikat bersemayamnya Allah itu tidak dapat diketahui oleh makhluk-Nya.

Setiap asma' menunjukkan kepada sifat. Asma-Nya. Misalnya Ar Rahman dan Ar Rahim menunjukkan sifat rahmah (kasih sayang), As Sami' dan Al Bashir menunjukkan sifat sam'u (mendengar) dan bashar (melihat), Al `Alim menunjukkan sifat `ilmu (pengetahuan) yang luas, Al Karim menunjukkan sifat karam (dermawan dan mulia), dan begitu seterusnya. Setiap nama dari asma-Nya menunjukkan sifat dari sifat-sifat-Nya.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Ibnu 'Abbas bahwa yang termasuk menyelewengkan Asma-Nya", yaitu: "Berbuat syirik (dalam Asma'-Nya)" berupa penamaan Asma-Nya untuk selain Allah SWT, seperti kaum musyrikin yang memberi nama-nama berhala mereka, seperti memberi nama Al-Lat berasal dari Al-Ilah dan Al-'Uzza berasal dari Al-'Aziz."



IV. MAROJI


1. Al-Mu'taqad Ash-Shahih, Asy-Syaikh Abdussalam Barjis
2. Al Ushul As Shittah, Syaikh Muhammad At-Tamimi, Syarah oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin
3. At-Tauhid lish Shaffil Awwal Al Ali, Dr Shalih bin Fauzan bin Abdullah bin Fauzan, Edisi Indonesia : Kitab Tauhid 1, Penerjemah Agus Hasan Bashori Lc, Penerbit Darul Haq.
4. Aqidah Ahlussunnah wal Jamaah, Lembaga LITBANG Syabab Ahlussunnah Wal Jama’ah (SYAHAMAH) Jakarta, 1 Agustus 2003
5. Hasyiyah Tsalaatsatil Ushul, Syaikh Abdirrahman bin Muhammad bin Qasim al Hanbaly an Najdi
6. Jalan Golongan yang Selamat, Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, Yayasan Al-Sofwa, Yakarta
7. "Kitab Tauhid", Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, Penerbit Kantor Kerjasama Da'wah dan Bimbingan Islam, Riyadh 1418 H, Penerjemah M.Yusuf Harun, MA.
8. Shahih Al Waabilus Shayyib minal Kalamit Thayyib, Syaikh Salim bin ‘Ied al-Hilaly
9. Syarhu Ushulil Iman, Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Edisi Indonesia : Prinsip-Prinsip Dasar Keimanan, Penerjemah: Ali Makhtum Assalamy, Penerbit KSA Foreigners Guidance Center In Gassim Zone
10. Taisiril Kariimir Rahman fi tafsiiri Kalaamil Mannan, Syaikh Abdirrahman bin Naashir As Sa’di

Tidak ada komentar:

Posting Komentar