Sabtu, 27 Juni 2009

Serial Salimul Aqidah : MADZHAB TEOLOGI/ILMU KALAM DALAM SEJARAH PERKEMBANGAN ISLAM

AL MADZAHIB AL ISLAMIYAH

Oleh : Ust. Suherman, S. Ag.


I. Mukaddimah

“Dan seandainya Tuhanmu mau, niscaya Dia jadikan manusia itu umat yang satu, tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu.” (QS. Hud: 118-119)

Imam Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Allah mengabarkan bahwa Dia mampu menjadikan manusia seluruhnya satu umat, baik dalam keimanan atau kekufuran, sebagaimana firman-Nya yang lain, ‘Seandainya Tuhanmu kehendaki niscaya berimanlah semua manusia di bumi.’ Lalu firman-Nya ‘tetapi mereka senantiasa berselisih, kecuali yang dirahmati Tuhanmu’ artinya perbedaan akan senantiasa terjadi antara manusia, baik tentang agama, keyakinan, millah, madzhab, dan pendapat-pendapat mereka. Berkata Ikrimah, ‘Mereka berbeda dalam petunjuk’. Berkata Hasan al Bashri, ‘Mereka berbeda dalam hal jatah rezeki, saling memberikan upah satu sama lain.’ Yang masyhur dan benar adalah pendapat pertama (Ikrimah).” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir al Qur’an al Azhim, II/465), bahkan Imam Hasan al Bashri ra. mengatakan Allah menciptakan manusia untuk berbeda, adapun Ibnu Abbas dan Thawus bin Kaisan ra.mengatakan untuk rahmatlah mereka diciptakan


II. Definisi

Secara bahasa (etimologi), madzhab (المذهب ) berasal dari kata ذهب - يذهب yang berarti pergi. Jamaknya adalah madzahib ( المذاهب ) yang berarti at thariiqah (metode, jalan, cara), al mu’taqad (sesuatu yang diyakini), dan al Ashlu (landasan, dasar). (ِAl Munjid fil Lughah wal A’lam, hal. 240).

Secara istilah (terminologi), madzhab adalah sebuah aliran pemikiran tentang sesuatu, yang metodologi dan konsep dasar pemikirannya telah baku dibuat oleh pendirinya, lalu menusia mengacu padanya. Tadinya, madzhab hanya seputar aqidah dan fiqh, namun kemudian juga terjadi pada ekonomi, politik, seni, dan lain-lain.

Dalam kajian Islam istilah madzhab digunakan untuk menyebutkan golongan pemikiran dalam aqidah dan fiqh. Adapun dalam tasawwuf, manusia tidak menyebutnya madzhab, melainkan tarekat (thariqah), yaitu sebuah metode untuk mendekatkan diri kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Berikut ini akan kita bahas tentang madzhab-madzhab dalam bidang aqidah/teologi.


III. Madzhab-Madzhab Teologi Dalam Sejarah Perkembangan Islam

Madzhab dalam Teologi/Ilmu Kalam

Pada awalnya Islam hanyalah satu, yaitu yang dicontohkan dan diajarkan oleh Rasulullah SAW., lalu dilanjutkan oleh orang-orang beriman setelahnya yakni para sahabat ra. Kelak, jalan inilah yang ditempuh oleh Madhab Salaf atau Ahlus Sunnah wal Jamaah. Allah Ta’ala berfirman:

“Dan sesungguhnya inilah jalanKu yang lurus, maka ikutilah dia; dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain), yang akan memecahbelahkan kamu dari jalanNya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa.” (QS. Al An’am: 153)

Tentang ayat ini Imam Ahmad meriwayatkan dari Abdullah bin Mas’ud ra., katanya, bahwa Rasulullah SAW membuat garis lurus dengan tangannya lalu ia membaca ‘ Dan sesungguhnya inilah jalan-Ku yang lurus’ lalu ia membuat garis di kanan dan kiri garis lurus tersebut lalu bersabda, “Inilah jalan yang tidak ada darinya kecuali pasti dilalui syetan yang selalu menyeru ke jalan itu.” (Imam Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, II/190)

Sementara itu kita juga diperintah untuk mengikuti jalan orang-orang yang berittiba’ kepada Nabi SAW. Sesuai firman Allah SWT :

“Katakanlah, “Inilah jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang musyrik.” (QS. Yusuf: 108).

Dalam tafsir dikatakan, “Inilah jalanku dalam da’wahku, di atas keyakinan dan hujjah yang jelas, kepadanyalah seruan seluruh sahabatku dan orang-orang yang beriman kepadaku.”
Namun, dalam perkembangan selanjutnya, pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib ra. dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. umat terpecah menjadi banyak kelompok, khususnya setelah perundingan antara Abu Musa al Asy’ary (utusan dari Ali) dengan Amr bin al Ash (utusan dari Mu’awiyah). Mereka berdua sepakat bahwa kedua-duanya (Ali dan Mu’awiyah) dicopot dari jabatan khalifah, namun tiba-tiba Amr bin al Ash kembali membaiat Mua’wiyah menjadi khalifah. Akhirnya pengikut Ali marah. Merekalah yang selanjutnya disebut syi’atu ‘ali (pengikut Ali, Syi’ah), adapun kelompok manusia yang keluar dari mereka semua adalah khawarij (dari kata kharaja, keluar), tidak mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua karena –menurut mereka- Ali dan Mu’awiyah tidak menggunakan hukum Allah dalam memutuskan perdamaian, melainkan menggunakan hukum manusia (Abu Musa dan Amr bin al Ash), sebenarnya cikal bakal khawarij sudah ada pada masa Rasulullah hidup. Namun, kisah ‘pengkhianatan’ Amr bin al Ash ini diragukan validitas sanadnya (dhaif).

Sedangkan kelompok mayoritas tetap memuliakan Ali dan Muawiyah, dan orang-orang yang terlibat dalam perundingan, karena semuanya adalah sahabat nabi yang mulia, dan masing-masing punya keistimewaan. Para ulama mengatakan keduanya berijtihad, hanya saja pihak yang benar adalah Ali, sedangkan Mu’awiyah keliru. Namun kesalahan dalam ijtihad mendapatkan pahala satu. Sesungguhnya, kesalahan para sahabat tidaklah menutupi segunung dan samudera kebaikan yang telah mereka persembahkan untuk Islam. itulah Madzhab Salaf atau Ahlus Sunnah wal Jamaah, mereka pertengahan dalam menilai masalah ini, dan masalah-masalah lainnya.

Jadi, perbedaan teologi dalam Islam, ternyata diawali polemik politik di antara sahabat yang sebenarnya tidak seberapa, lalu dibesar-besarkan oleh golongan munafik dan Yahudi yang dimotori Abdullah bin Saba’.

Tapi kemudian di masa-masa berikutnya, perbedaan madzhab teologi dalam Islam lebih didasari perbedaan pandangan di kalangan para Ulama tentang “Takdir”. Sebagian Ulama berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di alam semesta ini (termasuk kejadian dan perbuatan manusia) telah ditentukan sepenuhnya oleh Allah SWT. Pandangan ini dinamakan “Jabariyyah” atau “Tauhid Af’ali”. Sedangkan sebagian Ulama lainnya justru sebaliknya berpendapat, bahwa manusia memiliki kebebasan penuh (ikhtiyyar) untuk menentukan takdirnya sendiri. Pandangan ini dinamakan “Qadariyyah” atau “Tauhid Sifati”.

Berangkat dari pandangan “Jabariyyah” dan “Qadariyyah” maka bermunculan banyak mazhab teologi/kalam, seperti : Mu’tazilah, Murji’ah, Batiniah, Asy’ariyah dan lainnya, termasuk syi’ah. Namun yang akan dibahas disini adalah Mazbah Asy’ariyah, Madzhab Salaf atau Ahlussunnah, Mazhab Mu’tazilah dan Syi’ah saja, sementara mazhab2 kalam lainnya disamping bersifat sektoral (di ikuti sedikit umat Islam pada suatu wilayah tertentu) juga tidak berumur panjang, sehingga pengaruhnya tidak besar terhadap pemikiran teologi/akidah.


A. SEJARAH PERKEMBANGAN ASY’ARIYAH


Riwayat Hidup Imam Abul Hasan Al Asy’ari
Perkembangan ilmu kalam dalam lintasan sejarah Islam tidak bisa terlepas dari peranan madzhab Asy’ariyah. Hal itu dibuktikan dengan keberhasilan Asy’ariyah dalam membendung arus paham Mu'tazilah sejak awal kemunculannya hingga pada masa-masa berikutnya. Asy`ariyah adalah sebuah paham akidah yang dinisbatkan kepada Abul Hasan Al-Asy`ari. Nama lengkapnya ialah Abul Hasan Ali bin Isma’il bin Abi Basyar Ishaq bin Salim bin Ismail bin Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah Amir bin Abi Musa Al-Asy’ari, seorang sahabat Rasulullah SAW. Kelompok Asy’ariyah menisbahkan pada namanya sehingga dengan demikian ia menjadi pendiri madzhab Asy’ariyah.

Abul Hasan Al-Asya’ari dilahirkan pada tahun 260 H/874 M di Bashrah dan meninggal dunia di Baghdad pada tahun 324 H/936 M. Ia berguru kepada Abu Ishaq Al-Marwazi, seorang fakih madzhab Syafi’i di Masjid Al-Manshur, Baghdad. Ia belajar ilmu teologi dari Al-Jubba’i, seorang ketua Mu'tazilah di Bashrah.

Setelah ayahnya meninggal, ibunya menikah lagi dengan Abu Ali Al-Jubba’i, salah seorang pembesar Mu'tazilah. Hal itu menjadikan otaknya terasah dengan permasalahan teologi sehingga ia menguasai betul berbagai metodenya dan kelak hal itu menjadi senjata baginya untuk membantah kelompok Mu'tazilah.

Al-Asy’ari yang semula berpaham Muktazilah akhirnya berpindah menjadi madzhab Salaf atau Ahlussunnah, sebab yang ditunjukkan oleh sebagian sumber menyatakan bahwa Abul Hasan telah mengalami kemelut jiwa dan akal yang berakhir dengan keputusan untuk keluar dari Muktazilah. Sumber lain menyebutkan bahwa sebabnya ialah perdebatan antara dirinya dengan Al-Jubba’i seputar masalah ash-shalah dan ashlah (kemaslahatan). Sumber lain mengatakan bahwa sebabnya ialah pada bulan Ramadhan ia bermimpi melihat Nabi dan beliau berkata kepadanya, “Wahai Ali, tolonglah madzhab-madzhab yang mengambil riwayat dariku, karena itulah yang benar.” Kejadian ini terjadi beberapa kali, yang pertama pada sepuluh hari pertama bulan Ramadhan, yang kedua pada sepuluh hari yang kedua, dan yang ketika pada sepuluh hari yang ketiga pada bulan Ramadhan. Dalam mengambil keputusan keluar dari Muktazilah, Al-Asy’ari menyendiri selama 15 hari. Lalu, ia keluar menemui manusia mengumumkan taubatnya. Hal itu terjadi pada tahun 300 H.

Setelah itu, Abul Hasan memposisikan dirinya sebagai pembela keyakinan-keyakinan madzhab Salaf dan menjelaskan sikap-sikap mereka. Pada fase ini, karya-karyanya menunjukkan pada pendirian barunya. Dalam kitab Al-Ibanah, ia menjelaskan bahwa ia berpegang pada madzhab Ahmad bin Hambal. Abul Hasan menjelaskan bahwa ia menolak pemikiran Muktazilah, Qadariyah, Jahmiyah, Hururiyah, Rafidhah, dan Murji’ah. Dalam beragama ia berpegang pada Al-Qur’an, sunnah Nabi, dan apa yang diriwayatkan dari para shahabat, tabi’in, serta imam ahli hadits.

Dari uraian tadi, Ada tiga periode dalam hidup Abul Hasan yang berbeda dan merupakan perkembangan ijtihadnya dalam masalah akidah, yaitu :

a. Periode Pertama
Beliau hidup di bawah pengaruh Al-Jubbai, syaikh aliran Mu’tazilah. Bahkan sampai menjadi orang kepercayaannya. Periode ini berlangsung kira-kira selama 40-an tahun. Periode ini membuatnya sangat mengerti seluk-beluk akidah Mu’tazilah, hingga sampai pada titik kelemahannya dan kelebihannya.

b. Periode Kedua
Abul Hasan Al-Asya’ari ketika Beliau berbalik pikiran dengan paham-paham Mu’tazilah yang selama ini telah mewarnai pemikirannya. Hal ini terjadi setelah beliau merenung dan mengkaji ulang semua pemikiran Mu’tazilah selama 15 hari. Selama hari-hari itu, beliau juga beristikharah kepada Allah untuk mengevaluasi dan mengkritik balik pemikiran akidah mu’tazilah. Dalam riwayat yang lain Abul Hasan Al-Asya’ari rnengikuti pemahaman Abu Muhammad Abdullah bin
sa'id bin Kullab). Sebuah pemahainan yang bukan merupakan Mu'tazilah
murni. tetapi juga bukan Sunnah murni. Di tangannya, madzhab Kullabiyah berkembang, sehingga kemudian lebih dikenal dengan aliran Asy'ariyah
Di antara pemikirannya pada periode ini adalah beliau menetapkan 7 sifat untuk Allah lewat logika akal, yaitu:
•Al-Hayah (hidup)
•Al-Ilmu (ilmu)
•Al-Iradah (berkehendak)
•Al-Qudrah (berketetapan)
•As-Sama' (mendengar)
•Al-Bashar (melihat)
•Al-Kalam (berbicara)
Sedangkan sifat-sifat Allah yang bersifat khabariyah, seperti Allah punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, maka beliau masih menta'wilkannya. Maksudnya beliau saat itu masih belum mengatakan bahwa Allah punya kesemuanya itu, namun beliau menafsirkannya dengan berbagai penafsiran. Logikanya, mustahil Allah Yang Maha Sempurna itu punya tangan, kaki, wajah dan lainnya.

c. Periode Ketiga
beliau meninggalkan madzhab Asy'ariyah atau Kullabiyah. Beliau kembali mengikuti madzhab Salaf dan mengikuti Imam Ahmad bin Hambal dan madzhab para imam scbelumnya. Hal itu telah dinyatakan oleh Imam Abu Al Hasan sendiri dalam kitabnya yang beliau tulis pada akhir-akhir perjalanan hidupnya, yaitu kltab "Al-Ibanah 'an Ushulid-Diyanah". Di dalamnya beliau merinci akidah salaf dan manhajnya. Al-Asyari menulis beberapa buku, sekitar tiga ratus judul.

Pada periode ini beliau tidak hanya menetapkan 7 sifat Allah, tetapi semua sifat Allah yang bersumber dari nash-nash yang shahih. Kesemuanya diterima dan ditetapkan, tanpa takyif, ta'thil, tabdil, tamtsil dan tahrif. Beliau para periode ini menerima bahwa Allah itu benar-benar punya wajah, tangan, kaki, betis dan seterusnya, tapi Abul Hasan tidak melakukan :

•takyif : menanyakan bagaimana rupa wajah, tangan dan kaki Allah
•ta'thil : menolak bahwa Allah punya wajah, tangan dan kaki
•tamtsil : menyerupakan wajah, tangan dan kaki Allah dengan sesuatu
•tahrif : menyimpangkan makna wajah, tangan dan kaki Allah dengan makna lain.

Latar Belakang Berdirinya Asy’ariyah
Pada waktu itu sedang terjadi penerjemahan besar-besaran pemikiran filsafat Barat yang materialis dan rasionalis ke dunia Islam, sehingga dunia Islam mendapatkan tantangan hebat untuk bisa menjawab argumen-argumen yang bisa dicerna akal. Hal ini menjadi faktor penting berkembangnya ilmu teologi/kalam.

Al-Asy‘ari adalah salah satu tokoh penting yang punya peranan dalam menjawab argumen Barat ketika menyerang akidah Islam. Karena itulah metode akidah yang beliau kembangkan merupakan panggabungan antara dalil naqli dan aqli.

Munculnya kelompok Asy’ariyah ini tidak lepas dari ketidakpuasan sekaligus kritik terhadap paham Mu’tazilah yang berkembang pada saat itu. Kesalahan dasar Mu’tazilah di mata Al Asy'ari adalah bahwa mereka begitu mempertahankan hubungan Tuhan dan manusia dengan mengkompromikan kekuasaan dan kehendak Tuhan

Madzhab ini menyebar luas pada zaman wazir Nizhamul Muluk pada dinasti bani Saljuq dan seolah menjadi madzhab resmi negara. Asy’ariyah semakin berkembang lagi pada masa keemasan madrasah An-Nizamiyah, baik yang ada di Baghdad maupun di kota Naisabur. Madrasah Nizhamiyah yang di Baghdad adalah universitas terbesar di dunia. Perkembangan Asy’ariyah juga didukung oleh para petinggi negeri itu seperti Al-Mahdi bin Tumirat dan Nuruddin Mahmud Zanki serta sultan Shalahuddin Al-Ayyubi. Selain itu juga didukung oleh sejumlah besar ulama, terutama para fuqaha mazhab Asy-Syafi'i dan mazhab Maliki, sehingga wajar sekali bila dikatakan bahwa akidah Asy'ariyah ini adalah madzhab teologi yang paling populer dan tersebar di seluruh dunia.

Pengikut Asy’ari yang terpenting dan terbesar pengaruhnya pada umat Islam ialah Imam Al Ghazali (450-505 H/ 1058-1111M). Berkat Al-Ghazali madzhab Asy’ariah berkembang ke mana pun, meski pada masa itu aliran Muktazilah amat kuat di bawah dukungan para Khalifah Abbasiyah. Ulama-ulama lain yang bermadzhab Asy’ariah antara lain:
•Al-Imam Al-Fakhrurrazi (544-606H/ 1150-1210)
•Abu Ishaq Al-Isfirayini (w 418/1027)
•Al-Qadhi Abu Bakar Al-Baqilani (328-402 H/950-1013 M)
•Abu Ishaq Asy-Syirazi (293-476 H/ 1003-1083 M)
Menurut Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mereka adalah paling dekat di antara yang lain kepada madzhab salaf atau Ahlussunnah wal jamaah. Aliran mereka adalah polarisasi antara wahyu dan filsafat.

Pemikiran Al-Asy'ari dalam Masalah Akidah
Adapun pandangan-pandangan Asy’ariyah dalam masalah teologi diantaranya :
1. Bahwa Allah mempunyai sifat namun tidak dengan cara seperti yang ada pada makhluk, seperti melihat, mendengar, dan sebagainya, artinya harus ditakwilkan lain.
2. Al-Qur’an itu qadim, dan bukan ciptaan Allah, yang dahulunya tidak ada.
3. Allah dapat dilihat kelak di akhirat, tidak berarti bahwa Allah itu adanya karena diciptakan.
4. Perbuatan manusia bukan aktualisasi diri manusia, melainkan diciptakan oleh Allah.
5. Keadilan Allah terletak pada keyakinan bahwa Allah berkuasa mutlak dan berkehendak mutlak. Apa pun yang dilakukan Allah adalah adil. Mereka menentang konsep janji dan ancaman (al-wa’d wa al-wa’id).
6. Mengenai anthropomorfisme, yaitu memiliki atau melakukan sesuatu seperti yang dilakukan makhluk, jangan dibayangkan bagaimananya, melainkan tidak seperti apa pun.
7. Menolak konsep tentang posisi tengah (manzilah bainal manzilataini), sebab tidak mungkin pada diri seseorang tidak ada iman dan sekaligus tidak ada kafir. Harus dibedakan antara iman, kafir, dan perbuatan.
8. Allah tidak berkewajiban menjaga kemaslahatan (ash-shalah wal ashlah) manusia, tidak wajib memberi ganjaran pada manusia, dan bahkan Tuhan boleh memberi beban yang tak dapat dipikul kepada manusia

Koreksi Atas Pandangan Al Asy’ari
Beberapa tokoh pengikut dan penerus Asy’ari, banyak yang mengkritik paham Asy’ariah. Di antaranya ialah sebagai berikut:
Muhammad Abu Baki Al Baqillani (w. 1013 M), tidak begitu saja menerima ajaran-ajaran Asy’ari. Misalnya tentang sifat Allah dan perbuatan manusia. Menurutnya yang tepat bukan sifat Allah, melainkan hal Allah, sesuai dengan pendapat Abu Hasyim dari Mu’tazilah. Selanjutnya ia beranggapan bahwa perbuatan manusia bukan semata-mata ciptaan Allah, tetapi manusia mempunyai andil yang efektif dalam perwujudan perbuatannya, sementara Allah hanya memberikan potensi dalam diri manusia.

Pengikut Asy’ari lain yang juga berbeda adalah Abdul Malik Al Juwaini yang dijuluki Imam al-Haramain (419-478 H). Misalnya tentang anthropomorfisme, Al Juwaini beranggapan bahwa yang disebut tangan Allah harus diartikan (ditakwilkan) sebagai kekuasaan Allah. Mata Allah harus dipahami sebagai penglihatan Allah, wajah Allah harus diartikan sebagai wujud Allah, dan seterusnya. Jadi bukan sekadar ‘bila kaifa’ atau ‘tidak seperti apa pun’, seperti dikatakan Asy’ari.


B. SEJARAH PERKEMBANGAN MU’TAZILAH


Riwayat Munculnya Mu’tazilah

Mu’tazilah adalah salah satu dari madzhab teologi dalam Islam. Salah satu riwayat munculnya Mu’tazilah adalah pasca perselisihan pengikut Ali bin Abi Thalib ra. dan pengikut Mu’awiyah bin Abi Sufyan ra. Mereka yang tidak mendukung Ali dan Muawiyah, bahkan mengkafirkan mereka berdua. Merekalah yang selanjutnya disebut Mu’tazilah.

Riwayat lain tentang kelahiran Mu’tazilah biasanya dikaitkan dengan keluarnya Washil ibn Atha dari halaqah gurunya, Hasan Basri, karena perbedaan pendapat tentang status orang Islam yang melakukan dosa besar. Menurut sang guru, orang tersebut dianggap munafiq sekaligus fasiq, sehingga ia harus dikeluarkan dari komunitas masyarakat muslim. Sementara itu, menurut sang murid, orang tersebut dihukumi fasiq. Ia berada di antara “manzil baina manzilatain” (tempat di antara dua tempat, yaitu mukmin dan kafir). Karena perbedaan tersebut, sang murid lantas memisahkan diri dan membentuk halaqah sendiri bersama Amr Ibn Umaid. Sang guru mengatakan, “Intazala anna Washil” (Washil telah memisahkan diri dari kita). Dari situlah kemudian muncul istilah Mu’tazilah, orang-orang yang memisahkan diri. Tetapi, dalam tradisi Mu’tazilah sendiri, Hasan Basri dianggap sebagai salah satu tokoh mereka. Bahkan, bebarapa orang shahabat besar seperti Abu Bakar, Umar dan Ali dimasukkan dalam tokoh mereka juga. Selain itu, hubungan Hasan Basri dan Washil ibn Atha tidak terputus sampai kematian memisahkan mereka. Bahkan, Washil masih sering terlihat bepergian bersama gurunya dalam berbagai perjalanan Ini membuat orang bertanya mengenai kebenaran cerita di atas.
]
Di antara para khalifah Abasyiyah, Al Makmun mempunyai jasa besar dalam mendorong perkembangan Mu’tazilah. Bait Al-Hikmah yang didirikannya, terutama untuk penterjemahan karya-karya filsafat Yunani kuno sangat besar artinya bagi perkembangan aliran ini dalam bidang teori, walau perkembangan Mu’tazilah sendiri tidak semata-mata hasil dorongan Khalifah Makmun. Di sisi lain, secara politis, Al Makmun menggunakan paham Mu’tazilah sebagai alat untuk menguji loyalitas para bawahannya yang dikenal dengan istilah “mihnah”, yaitu, pengujian atas para hakim, apakah mereka percaya bahwa Al Qur’an diciptakan, sebagaimana ajaran Mu’tazilah. Mereka yang tidak percaya dipecat.

Kalangan Mu’tazilah berpendapat bahwa tidak ada yang qadim selain Allah. Kepercayaan akan adanya dzat yang qadim selain Allah adalah syirik. Orang yang menduduki jabatan hakim harus bebas dari syirik. Bila sudah terlanjur, mereka harus diturunkan. Mihnah ini dalam perkembangan tidak hanya diterapkan pada para hakim, tetapi juga para saksi di pengadilan dan kemudian para pemimpin masyarakat, salah satunya kepada Imam Ahmad bin Hambal sehingga beliau dipenjara dan disiksa. Keputusan Al Ma’mun ini dilanjutkan oleh Al Mu’tasim (833-842) dan bahkan lebih keras lagi oleh Khalifah Al Wasiq (842-847). Peran Ahmad ibn Abi Daud, salah seorang tokoh besar Mu’tazilah aliran Baghdad sangat besar dalam pelaksanaan mihnah ini. Hakim Agung menggantikan Yahya ibn Aksam pada tahun 832. Jabatan tersebut tetap dipegangnya sampai pada masa Al Mu’tasim dan Al Wasiq.

Meninggalnya Al Wasiq menandai kejatuhan Mu’tazilah. Penggantinya, Al Mutawakkil (847-861), lebih cenderung kepada para ahli al-hadits pemegang teguh madzhab Salaf atau Ahlussunnah yang lebih banyak menderita pada masa khalifah sebelumnya. Ia menghentikan mihnah dan prinsip-prinsip Mu’tazilah tidak lagi dipakai sebagai prinsip negara. Ini berarti memberikan angin segar kepada lawan-lawan Mu’tazilah, terutama ahli hadits, ahli fiqh dan Syiah, untuk balik menjatuhkannya.

Namun, dalam tubuh Mu’tazilah sendiri masih ada tokoh Abu Ali Al-Jubai dan anaknya, Abu Hasyim. Keduanya berusaha untuk mengkonsolidasikan kekuatan Mu’tazilah. Kenyataanya, hanya aliran Basrah yang dapat bertahan. Aliran Baghdad, yang dahulu dekat dengan kekuasaan, harus turun dari panggung sejarah. Dalam banyak hal, usaha kedua tokoh tersebut bisa dikatakan berhasil. Namun, dalam tubuh mereka sendiri justru tampil seorang lawan baru; Abu al Hasan al-Asya’ari (873-935), pendiri aliran Asy’ariyah, sehingga beberapa saat lamanya, Mu’tazilah tidak muncul ke permukaan

Pada masa-masa berikutnya, ketika Bani Buwaih berkuasa (abad ke-4 H), Mu’tazilah bangkit kembali, terutama di wilayah Persia. Ia bergandengan dengan Syiah. Saat itu, banyak muncul pemikiran Mu’tazilah dari aliran Basrah, walau tidak sebesar para pendahulunya. Mereka meninggalkan banyak karya yang masih bisa kita lihat sampai sekarang.

Pemikiran Mu’tazilah dalam Masalah Akidah
Mu’tazilah, pada dasarnya, bertujuan untuk mensucikan Tuhan dari segala hal yang bisa menodai keesaan dan kebaikan-Nya. Untuk itu, mereka menggunakan dalil-dalil akal sebagai sandarannya. Kalau ada teks al-Qur’an atau Sunnah yang dianggap bisa memberikan pengertian yang menodai keesaan dan kebaikan-Nya, mereka mentakwilkanya sehingga sesuai dengan apa yang ditunjukkan dalil-dalil akal.

Pemikiran Mu’tazilah dirumuskan dalam lima prinsip pokok yang disebut “Al Ushul Al Khamsah”, yaitu :
1. Keesaan Allah.
Prinsip ini didefinisikan sebagai Allah Maha Esa. Tidak ada satupun yang menyekutui-Nya dalam sifat-sifat yang menjadi hak-Nya, baik dalam penegasian maupun penetapan. Sifat-sifat Tuhan dan bagaimana sifat-sifat itu dinisbatkan kepada Tuhan, sehingga tidak memberikan pengertian adanya hal-hal yang bisa menodai keesaan-Nya, semisal adanya hal-hal yang qadim selain dzat Allah.
2. Keadilan Allah.
Prinsip ini didefinisikan bahwa semua perbuatan-Nya adalah baik. Dia tidak mungkin melakukan sesuatu yang tidak baik. Dia juga tidak mungkin meninggalkan apapun yang merupakan kewajiban bagi-Nya, yaitu :
1. Allah tidak berdusta dalam firman-Nya, dan kedustaan tidak boleh menjadi hukum-Nya.
2. Allah tidak menyiksa anak-anak orang musyrik, karena dosa orang tuanya.
3. Allah tidak memberikan mukjizat kepada orang-orang yang banyak berdusta.

Allah tidak membebani hamba-Nya dengan sesuatu yang tidak dapat dilakukan dan tidak dapat diketahui (dipahami). Sebaliknya, Allah membuat hamba-Nya mampu memikul beban yang diberikan, membuat mereka mengetahui sifat beban itu, dan menunjukkan serta menjelaskannya kepada mereka, sehingga orang yang dibinasakan maupun yang dihidupkan, berdasarkan atas keterangan yang telah diberikan yaitu, karena ketaatan dan kelalaian mereka sendiri. Allah pasti memberikan balasan yang baik kepada manusia yang menjalankan kewajibannya secara baik dan benar. Rasa sakit yang ditimpakan Allah atas orang mukalaf adalah untuk kepentingan mukalaf itu sendiri. Kalau tidak, maka Dia berarti telah meninggalkan kewajiban-Nya. Pandangan Allah tentang hamba-Nya, mengenai hal-hal yang berkenaan dengan agama, tugas serta kewajiban adalah lebih baik daripada pandangan mereka sendiri mengenai hal itu.
3. Janji dan Ancaman.
Didefinisikan bahwa Allah berjanji untuk memberikan ganjaran kepada orang yang taat dan mengancam untuk menyiksa orang-orang yang durhaka. Dia pasti melaksanakan janji dan ancaman-Nya itu. Bila Dia berdusta akan janji-Nya sendiri, berarti firman-Nya tidak dapat dipercaya.
4. Manzilah baina Manzilatain.
Didefisinikan, bahwa pelaku dosa besar (dikalangan orang muslim) menduduki posisi di antara dua nama dan menduduki hukum di antara dua hukum, yaitu fasiq. Ia tidak dihukumi kafir, karena kenyataanya ia masih beriman dan muslim. Ia tidak dikenakan larangan melakukan perkawinan, pewarisan dan dikubur di pemakaman muslim. Namun, tidak bisa pula dihukumi sebagai muslim dan mukmin yang “baik”, karena telah melakukan dosa besar.
5. Amar Ma’ruf Nahi Munkar.
Di sini diperlukan syarat-syarat, antara lain :
Pengetahuan yang pasti bahwa yang diperintahkan adalah sesuatu yang baik dan yang dicegah adalah sesuatu yang jelek. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa perbuatan yang tidak baik tersebut telah benar-benar ada atau telah terjadi. Misalnya, telah tersedia alat-alat minum (minuman keras), alat-alat judi dan lainnya. Pengetahuan atau dugaan yang kuat bahwa pencegahan tersebut tidak akan menimbulkan kerugian yang lebih besar. Tetapi jika pencegahan tersebut akan menimbulkan kerugian yang lebih besar, misalnya, kalau dilakukan pencegahan minuman keras bakal menimbulkan huru-hara atau pembunuhan dikalangan kaum muslimin, maka pencegahan tersebut tidak wajib dilakukan. Kalau sadar bahwa kata-katanya tidak bakal menimbulkan pengaruh, maka tidak wajib.

Selain itu, Mu’tazilah juga memiliki pemikiran tentang Konsep Lutf dan konsep Shalah wa al-Ashlah. Keduanya adalah pelebaran paham Mu’tazilah tentang keadilan Allah. Di dalamnya terkandung persoalan-persoalan yang berhubungan dengan pertanyaan “apakah Allah kewajib melakukan sesuatu? “. Menurut Mu’tazilah, Allah memiliki kewajiban terhadap manusia, diantaranya wajib melakukan sesuatu yang baik, bahkan terbaik kepada manusia, wajib menepati janji-Nya, mengutus para Rasul, memberi rizki kepada mahluk-Nya dan lain-lain.

1. Tentang Lutf
Lutf, bentuk masdar “la-tha-fa” berarti menolong, menyantuni, kehalusan, keramahan dan kelembutan. Allah disebut “Al Lathif”, karena Dia Maha Penolong, Maha Halus dan Penyantun para hamba-Nya. Menurut Mu’tazilah, lutf adalah sesuatu yang membuat manusia mampu memilih untuk berperilaku mukmin, yang tanpanya manusia dapat terjerumus dalam tindakan sebaliknya. Tetapi, konsep lutf ini bukan berarti menghilangkan makna kebebasan manusia. Konsep utama dalam faham Mu’tazilah, lutf yang diberikan Allah kepada mukallaf bukan sebagai balasan, melainkan sebagai konsekuensi-Nya atas adanya pembebanan pada manusia.

Lutf hanya diberikan kepada orang-orang tertentu, yaitu orang yang dinilai punya potensi atau kecenderungan untuk beriman. Lutf tidak mungkin diberikan kepada orang-orang yang ingkar, sebagaimana yang dikatakan dalam Al-Qur’an “Sekiranya Allah mengetahui kebaikan ada ada mereka, maka Allah akan menjadikan mereka dapat mendengar....” (QS. Al-Anfal, 23).

2. Tentang Shalah wa Al-Ashlah
Kata “shalah”, masdar kata “sha-la-ha” berarti baik, lawan kata buruk. Sedang “ashlah” adalah isim tafdhil, yang bermakna “terbaik”. Istilah “Shalah wa al-Aslah” sebagaimana yang digunakan Mu’tazilah, adalah suatu kewajiban bagi Allah untuk memberikan sesuatu yang terbaik bagi para hamba-Nya..

Konsep ini didasarkan atas paham Muktazilah yang menyatakan bahwa Allah tidak menghendaki kejahatan pada manusia. Sebaliknya, Allah menghendaki kebaikan. Menurut Mu’tazilah, jika Allah menghendaki kebaikan, maka Dia harus memberikan sarana-sarana kepada manusia, bagaimana harapan-Nya itu bisa direalisasikan. Artinya, Allah harus memberikan kebaikan, bahkan yang terbaik kepada manusia agar mereka dapat merealisasikan kebaikan sebagaimana yang diharapkan-Nya.

Koreksi Atas Pandangan Mu’tazilah

Berkenaan dengan lima dasar pemikiran Muktazilah, yaitu Keesaan Allah, Keadilan Allah, Janji dan Ancaman, Manzilah baina Manzilatain dan Amar Ma’ruf Nahi Munkar, hal itu dibantah oleh Asy’ariah sebagai berikut :

1. Arti Keadilan, dijadikan kedok oleh Mu’tazilah untuk menafikan takdir. Mereka berkata, “Allah tak mungkin menciptakan keburukan atau memutuskannya. Karena kalau Allah menciptakan mereka lalu menyiksanya, itu satu kezaliman, sedangkan Allah Maha Adil.
2. Tentang Tauhid, mereka jadikan kedok untuk menyatakan pendapat bahwa Al-Qur’an itu makhluk. Karena kalau ia bukan makhluk, berarti ada beberapa sesuatu yang tidak berawal. Konsekuensi berpikir mereka yang rusak ini bahwa ilmu Allah, kekuasaan-Nya, dan seluruh sifat-Nya adalah makhluk, sebab kalau tidak, akan terjadi kontradiksi, padahal Allah Maha Pencipta.
3. Ancaman menurut Mu’tazilah, kalau Allah sudah memberi ancaman kepada sebagian hamba-Nya, Dia pasti menyiksanya dan tak mungkin mengingkari janji-Nya. Karena Allah selalu memenuhi janji-Nya. Jadi, menurut mereka, Allah tak akan memafkan dan memberi ampun siapa saja yang Dia kehendaki, sedangkan Allah Maha Pengampun.
4. Adapun yang mereka maksud dengan Manzilah baina Manzilatain dibantah oleh Asy’ariah bahwa tidak mungkin kekufuran berpadu dengan keimanan.
5. Konsep amar makruf nahi mungkar menurut Mu’tazilah ialah wajib menyuruh orang lain dengan apa yang diperintahkan kepada mereka,termasuk boleh memberontak kepada para pemimpin dengan memeranginya apabila mereka berlaku zhalim. Asy’ariah membantah hal ini dengan argumen bahwa tiap orang memiliki kemampuan amar ma’ruf nahi mungkar yang berbeda serta tidak dibenarkan memerangi sesama muslim.


C. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN MADZHAB SALAF


Riwayat Munculnya Istilah Madzhab Salaf atau Ahlussunnah
As-Sunnah dalam istilah mempunyai beberapa makna. As-Sunnah menurut para Imam yaitu thariqah (jalan hidup) Nabi SAW. yang diikuti para shahabat ra. Mereka adalah orang yang selamat dari syubhat dan syahwat, seperti yang diungkapkan oleh Al-Fudhail bin Iyadh, "Ahlussunnah itu orang yang mengetahui apa yang masuk ke dalam perutnya dari (makanan) yang halal.” Karena menghindari makanan yang haram termasuk salah satu perkara sunnah yang besar yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para shahabat ra.

Dalam pemahaman kebanyakan ulama muta'akhirin dari kalangan Ahli Hadits dan lainnya, As-Sunnah itu ungkapan tentang apa yang selamat dari syubhat-syubhat dalam i'tiqadiyah khususnya dalam masalah-masalah iman kepada Allah, para malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para rasul-Nya, hari akhir, begitu juga dalam masalah Qadar dan Fadhailush Shahabah (keutamaan shahabat).

Para Ulama menyusun beberapa kitab dalam masalah ini dan mereka menamakan karya-karya mereka itu sebagai "As-Sunnah". Menamakan masalah ini dengan "As-Sunnah" karena pentingnya masalah ini dan orang atau kelompok yang menyalahi hal ini berada di tepi kehancuran. Adapun Sunnah yang sempurna adalah thariqah yang selamat dari syubhat dan syahwat. Ibnul Jauzi menyatakan bahwa Ahli Naqli dan Atsar termasuk pengikut Rasulullah SAW.

Kata "Ahlus-Sunnah" mempunyai dua makna, yaitu :
Pertama, mengikuti sunah-sunah dan atsar-atsar yang datangnya dari Rasulullah SAW dan para shahabatnya, menekuninya, memisahkan yang shahih dari yang cacat dan melaksanakan apa yang diwajibkan dari perkataan dan perbuatan dalam masalah aqidah dan ahkam.
Kedua, lebih khusus dari makna pertama, yaitu yang dijelaskan oleh sebagian ulama di mana mereka menamakan kitab mereka dengan nama As-Sunnah, seperti Abu ‘Ashim, Al-Imam Ahmad bin Hanbal, Al-Imam Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Al-Khalal dan lain-lain. Mereka maksudkan (As-Sunnah) itu adalah i'tiqad shahih yang ditetapkan dengan nash dan ijma'.

Kedua makna itu menjelaskan kepada kita bahwa madzhab Ahlus Sunnah itu kelanjutan dari apa yang dilakukan Rasulullah SAW. dan para shahabatnya ra. Adapun penamaan Ahlus Sunnah adalah sesudah terjadinya fitnah ketika awal munculnya firqah-firqah.

Di zaman Rasulullah SAW. kaum muslimin dikenal bersatu, tidak ada golongan-golongan, semua dibawah pimpinan dan komando Rasulullah SAW. Jika ada masalah atau perbedaan pendapat antara para sahabat, mereka langsung datang kepada Rasulullah SAW. itulah yang membuat para sahabat saat itu tidak sampai terpecah belah, baik dalam masalah akidah maupun dalam urusan duniawi.

Setelah Rasulullah SAW. wafat, benih-benih perpecahan mulai tampak dan puncaknya terjadi saat Imam Ali ra. menjadi Khalifah. Namun perpecahan tersebut hanya bersifat politik, sedang akidah mereka tetap satu yaitu akidah Islamiyah, meskipun saat itu benih-benih penyimpangan dalam akidah sudah mulai ditebarkan oleh Abdullah bin Saba. Setelah para sahabat ra. wafat, benih-benih perpecahan dalam akidah tersebut mulai membesar, sehingga timbullah faham-faham yang bermacam-macam yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW.

Saat itu kaum muslim terpecah dalam dua bagian, satu bagian dikenal sebagai golongan-golongan ahli bid’ah, atau kelompok-kelompok sempalan dalam Islam, seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafidh), Khawarij dan lain-lain. Sedang bagian yang satu lagi adalah golongan terbesar, yaitu golongan orang-orang yang tetap berpegang teguh kepada apa-apa yang dikerjakan dan diyakini oleh Rasulullah SAW. bersama sahabat-sahabatnya. Golongan yang terakhir inilah yang kemudian menamakan golongannya dan akidahnya sebagai madzhab Salaf atau Ahlussunnah wal Jama’ah. Jadi golongan Ahlus Sunnah Waljamaah adalah golongan yang mengikuti sunnah-sunnah nabi dan jamaatus shohabah. Hal ini sesuai dengan hadist Rasulullah SAW :

الفرقة الناجية : هى ما انا عليه واصحابى

“golongan yang selamat dan akan masuk surga (al-Firqah an Najiyah) adalah golongan yang mengikuti apa-apa yang aku (Rasulullah SAW) kerjakan bersama sahabat-sahabatku”

Dengan demikian akidah Ahlussunnah wal Jama’ah adalah akidah Islamiyah yang dibawa oleh Rasulullah dan golongan Ahlussunnah wal Jama’ah adalah umat Islam. Lebih jelasnya, Islam adalah Ahlussunnah wal Jama’ah dan Ahlussunnah wal Jama’ah itulah Islam. Sedang golongan-golongan ahli bid’ah, seperti Mu’tazilah, Syiah (Rawafidh), khawarij dan lain-lain adalah golongan yang menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW yang berarti menyimpang dari ajaran Islam.

Antara Asy’ariah dan Madzhab Salaf atau Ahlussunnah

Ibnu Sirin rahimahullah menyatakan mereka awalnya tidak pernah menanyakan tentang sanad. Ketika terjadi fitnah, (para ulama) mengatakan: Tunjukkan (nama-nama) perawimu kepada kami. Kemudian ia melihat kepada Madzhab Salaf atau Ahlussunnah sehingga hadits mereka diambil. Sedangkan hadits yang berasal dari Ahlul Bi'dah tidak di ambil.
Imam Malik rahimahullah pernah ditanya, "Siapakah Ahlus Sunnah itu? Ia menjawab, “Ahlussunnah adalah mereka yang tidak mempunyai laqab (julukan) yang sudah terkenal yakni mereka bukan Jahmiyah, Mu’tazilah, Khawarij, Qadariah, Jabariah dan bukan pula Rafidhah.”

Kemudian ketika kelompok tersebut mempunyai kekuasaan dan negara, mereka menjadi sumber bencana bagi manusia, mereka mengajak untuk masuk ke aliran Jahmiyah dengan anjuran dan paksaan. Mereka menggangu, menyiksa dan bahkan membunuh orang yang tidak sependapat dengan mereka. Kemudian Allah SWT menciptakan Imam Ahmad bin Hanbal untuk membela Madzhab Salaf atau Ahlussunnah. Beliau bersabar atas ujian dan bencana yang ditimpakan mereka. Imam Ahmad bin Hanbal membantah dan mematahkan hujjah-hujjah mereka, kemudian beliau munculkan As-Sunnah sehingga beliau diberi gelar Imam Ahlussunnah.

Dengan demikian, Madzhab Salaf atau Ahlussunnah adalah istilah yang digunakan untuk menamakan pengikut madzhab Salafusshalih dalam i'tiqadiyah. Banyak hadits yang memerintahkan untuk berjamaah dan melarang berfirqah-firqah dan keluar dari jamaah. Namun, para ulama berselisih tentang perintah berjamaah ini dalam beberapa pendapat, yaitu :

1. Jamaah itu adalah As-Sawadul A'dzam (sekelompok manusia atau kelompok terbesar) dari pemeluk Islam.
2. Para Imam Mujtahid
3. Para Shahabat Nabi radhiyallahu 'anhum.
4. Jamaahnya kaum muslimin jika bersepakat atas sesuatu perkara.
5. Jamaah kaum muslimin jika mengangkat seorang amir.

Pendapat-pendapat di atas kembali kepada dua makna, yaitu :
Pertama, bahwa jamaah adalah mereka yang bersepakat mengangkat seseorang amir (pemimpin) menurut tuntunan syara', maka haram menentang jamaah ini dan amirnya.
Kedua, bahwa jamaah yang haq yang wajib diikuti dan dijalani menurut manhajnya adalah jamaah yang melakukan ittiba' dan meninggalkan ibtida' (bid'ah).
Syaikhul Islam mengatakan, "Mereka (para ulama) menamakan Ahlul Jamaah karena jamaah itu adalah ijtima' (berkumpul) dan lawannya firqah, meskipun lafadz jamaah telah menjadi satu nama untuk orang-orang yang berkelompok. Sedangkan ijma' merupakan pokok ketiga yang menjadi sandaran ilmu dan den. Para ulama mengukur perkataan dan pebuatan manusia zhahir maupun bathin dengan ketiga pokok ini, yaitu Al-Qur'an, Sunnah dan Ijma'.

Istilah Ahlussunnah wal Jamaah mempunyai istilah yang sama dengan Ahlussunnah. Secara umum para ulama menggunakan istilah ini sebagai pembanding Ahlul Ahwa' wal Bida'. Contohnya : Ibnu Abbas ra. mengatakan tentang tafsir firman Allah Ta'ala, ”Pada hari yang di waktu itu ada muka yang putih berseri dan adapula muka yang muram.” [Ali Imran: 105].
"Adapun orang-orang yang mukanya putih berseri adalah Ahlus Sunnah wal Jamaah sedangkan orang-orang yang mukanya hitam muram adalah Ahlul Ahwa' wa Dhalalah.”
Sufyan Ats-Tsauri menyatakan bahwa jika sampai (khabar) kepadamu tentang seseorang di arah timur ada pendukung sunnah dan yang lainnya di arah barat maka kirimkanlah salam kepadanya dan doakanlah mereka.

Istilah Madzhab Salaf atau Ahlussunnah dan jamaah ini timbul sebagai reaksi terhadap paham-paham golongan Mu’tazilah, yang telah dikembangkan dari tahun 100 H atau 718 M, yang perlahan-lahan paham Mu’tazilah tersebut memberi pengaruh kuat dalam masyarakat Islam.
Mazhab Madzhab Salaf atau Ahlussunnah wal Jamaah muncul atas keberanian dan usaha Abul Hasan Al-Asy’ari. Ajaran teologi barunya kemudian dikenal dengan nama Sunnah wal Jamaah. Untuk selanjutnya Ahli Sunah wal jamaah selalu dikaitkan pada kelompok pahan teologi Asy’ariyah ataupun Maturidiyah. Asy'ariyah Kebanyakan di kalangan mereka mengatakan bahwa madzhab Salaf "Ahlussunnah wa Jamaah" adalah apa yang dikatakan oleh Abul Hasan Al-Asy'ari dan Abu Manshur Al-Maturidi. Sebagian dari mereka mengatakan Ahlus Sunnah wal Jamaah itu Asy'ariyah, Maturidiyah, dan Madzhab Salaf.

Sebenarnya, antara Asy’ariyah dan Maturidiyah sendiri memiliki beberapa perbedaan, di antaranya ialah dalam hal-hal sebagai berikut:

1. Tentang sifat Tuhan
Pemikiran Asy`ariyah dan Maturidiyah memiliki pemahaman yang relatif sama. Bahwa Tuhan itu memiliki sifat-sifat tertentu. Tuhan Mengetahui dengan sifat Ilmu-Nya, bukan dengan zat-Nya. Begitu juga Tuhan itu berkuasa dengan sifat Qudrah-Nya, bukan dengan zat-Nya.
2. Tentang Perbuatan Manusia
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Menurut Maturidiyah, perbuatan manusia itu semata-mata diwujudkan oleh manusia itu sendiri. Dalam masalah ini, Maturidiyah lebih dekat dengan Mu`tazilah yang secara tegas mengatakan bahwa semua yang dikerjakan manusia itu semata-mata diwujdukan oleh manusia itu sendiri.
3. Tentang Al-Quran
Pandangan Asy`ariyah sama dengan pandangan Maturidiyah. Keduanya sama-sama mengatakan bahwa Al-quran itu adalah Kalam Allah Yang Qadim. Mereka berselisih paham dengan Mu`tazilah yang berpendapat bahwa Al-Quran itu makhluq.
4. Tentang Kewajiban Tuhan
Pandangan Asy`ariyah berbeda dengan pandangan Maturidiyah. Maturidiyah berpendapat bahwa Tuhan memiliki kewajiban-kewajiban tertentu. Pendapat Maturidiyah ini sejalan dengan pendapat Mu`tazilah.
5. Tentang Pelaku Dosa Besar
Pandangan Asy`ariyah dan pandangan Maturidiyah sama-sama mengatakan bahwa seorang mukmin yang melakukan dosa besar tidak menjadi kafir dan tidak gugur ke-Islamannya. Sedangkan Mu`tazilah mengatakan bahwa orang itu berada pada tempat diantara dua tempat “Manzilatun baina manzilatain”.
6. Tentang Janji Tuhan
Keduanya sepakat bahwa Tuhan akan melaksanakan janji-Nya. Seperti memberikan pahala kepada yang berbuat baik dan memberi siksa kepada yang berbuat jahat.
7. Tentang Rupa Tuhan
Keduanya sama-sama sependapat bahwa ayat-ayat Al-Quran yang mengandung informasi tentang bentuk-bentuk pisik jasmani Tuhan harus ditakwil dan diberi arti majaz dan tidak diartikan secara harfiyah.
Az-Zubaidi menyatakan bahwa jika dikatakan Ahlus Sunnah, maka yang dimaksud dengan mereka itu adalah Asy'ariyah dan Maturidiyah.
Penulis Ar-Raudhatul Bahiyyah mengemukakan bahwa pokok semua aqaid Ahlussunnah wal Jamaah atas dasar ucapan dua kutub, yakni Abul Hasan Al-Asy'ari dan Imam Abu Manshur Al-Maturidi.

Al-Ayji menuturkan bahwa Al-Firqatun Najiyah yang terpilih adalah orang-orang yang Rasulullah berkata tentang mereka, "Mereka itu adalah orang-orang yang berada di atas apa yang aku dan para shahabatku berada diatasnya." Mereka itu adalah Asy'ariyah dan Salaf dari kalangan Ahli Hadits dan Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Hasan Ayyub menuturkan bahwa ahlus sunnah adalah Abu Hasan Al-Asy'ari dan Abu Mansyur Al-Maturidi dan orang-orang yang mengikuti jalan mereka berdua. Mereka berjalan di atas petunjuk Salafus Shalih dalam memahami aqaid.

Uraian di atas menjelaskan bahwa Asy’ariyah adalah ahlus sunnah wal jamaah itu sendiri. Pengakuan tersebut disanggah oleh Ibrahim Said dalam majalah Al-Bayan dengan argumen:

1. Bahwa pemakaian istilah ini oleh pengikut Asy'ariyah dan Maturidiyah dan orang-orang yang terpengaruh oleh mereka sedikit pun tidak dapat merubah hakikat kebid'ahan dan kesesatan mereka dari Manhaj Salafus Shalih dalam banyak sebab.
2. Bahwa penggunaan mereka terhadap istilah ini tidak menghalangi kita untuk menggunakan dan menamakan diri dengan istilah ini menurut syar'i dan yang digunakan oleh para ulama Salaf.
Tidak ada aib dan cercaan bagi yang menggunakan istilah ini. Sedangkan yang diaibkan adalah jika bertentangan dengan i'tiqad dan madzhab Salafus Shalih dalam pokok (ushul) apa pun.

Tapi Ibrahim Said dalam makalahnya tidak menjelaskan kekeliruan madzhab Asy’ariyah yang didakwakannya. Dalam buku Nasy’atul Asy’ariyyah wa Tathawwuruha, disebutkan bahwa istilah ahlus sunah wal jamaah memiliki dua makna, yaitu umum dan khusus. Makna secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari Syi’ah yang di dalamnya juga masuk golongan Muktazilah dan Asya’riyah. Makna khusus digunakan untuk menyebut Asya’riyah tanpa selainnya dari aliran-liran kalam dalam pemikiran filsafat Islam. Jadi, makna ahlus sunnah secara umum dimaksudkan sebagai lawan dari kelompok Syi’ah, Muktazilah, dan bahkan Asy’ariyah itu sendiri. Adapun makna khususnya digunakan untuk menyebut Asy’ariyah untuk membedakannya dengan aliran-aliran kalam dalam pemikiran filsafat Islam.


D. SEJARAH BERDIRI DAN PERKEMBANGAN MADZHAB SYIAH

Munculnya Istilah Ahlul Bait

Madzhab Ahlul Bait adalah nama samaran dari sekian banyak aliran-aliran Syiah. Dimana setiap aliran Syiah mengklaim alirannya sebagai Madzhab Ahlul Bait. contohnya, Syiah Zaidiyah mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait. Begitu pula Syiah Ismailiyah, mereka juga mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait. Bahkan aliran Syiah yang paling sesat saat ini, yaitu aliran Syiah Imamiyah Itsna Atsariyah juga berani mengaku sebagai Madzhab Ahlul Bait.
Penyebab mereka sampai berani menyebut alirannya sebagai Madzhab Ahlul Bait, karena saat ini masyarakat dunia Islam sudah mengetahui bahwa aliran-aliran Syiah tersebut sesat dan menyesatkan serta ajarannya sangat menyimpang dari ajaran Rasulullah SAW dan ajaran Ahlul Bait, sehingga dalam usahanya menipu dan menyesatkan umat Islam, mereka menggunakan nama samaran sebagai Madzhab Ahlul Bait sehingga ada dari umat Islam yang tertipu dan akhirnya terjerumus masuk Syiah.

Dengan demikian, sebenarnya Madzhab Ahlul Bait itu tidak ada, yang ada adalah Madzhabnya Ahlul Bait atau akidahnya Ahlul Bait, yaitu akidah yang sekarang dikenal dengan nama akidah Ahlussunnah wal Jamaah atau Madzhab Salaf, akidah yang berpegang kepada apa-apa yang diyakini dan dikerjakan oleh Rasulullah SAW, Ahlul Bait dan para sahabatnya ra. Jika yang namanya Madzhab Ahlul Bait itu ada dan benar, pasti yang mengikuti madzhab tersebut adalah keturunan Ahlul Bait, yaitu para habaib bukan orang-orang ajam dari Iran. Tapi kenyataannya para habaib hampir semuanya mengikuti madzhab Salaf atau Ahlussunnah wal Jamaah. Mereka mengikuti akidah itu secara sambung menyambung sampai kedatuk mereka baginda Rasulullah SAW. Hal ini dapat dibaca dalam kitab Iqdul Yawaqid Aljauhariyyah, karya Al-Allamah Al Habib Idrus bin Umar Al-Habsyi, dan dapat dibaca dalam puluhan, bahkan ratusan kitab-kitab yang ditulis oleh para habaib.


Pandangan Ulama Tentang Madzhab dalam Masalah Teologi/Ilmu kalam

Ibnu Qudamah Al Maqdisi rahimahullah mengatakan, “Setiap golongan yang menamakan dirinya dengan selain identitas Islam dan Sunnah adalah mubtadi’ (ahli bid’ah) seperti Rafidhah (Syi’ah), Jahmiyah, Khawarij, Qadariyah, Murji’ah, Mu’tazilah, Karramiyah, Kullabiyah, dan kelompok-kelompok lain yang serupa dengan mereka. Inilah firqah-firqah sesat dan kelompok-kelompok bid’ah, semoga Allah melindungi kita darinya.”
Setelah membawakan perkataan Ibnu Qudamah ini Syaikh Muhammad bin Shalih Al ‘Utsaimin rahimahullah menyebutkan mengenai sebagian ciri-ciri Ahlul bid’ah. Beliau mengatakan, “Kaum ahlul bid’ah itu memiliki beberapa ciri, di antara cirinya adalah :

• Mereka memiliki karakter selain karakter Islam dan Sunnah sebagai akibat dari bid’ah-bid’ah yang mereka ciptakan, baik yang menyangkut urusan perkataan, perbuatan maupun keyakinan.
• Mereka sangat fanatik kepada pendapat-pendapat golongan mereka. Sehingga mereka pun tidak mau kembali kepada kebenaran meskipun kebenaran itu sudah tampak jelas bagi mereka.
• Mereka membenci para Imam umat Islam dan para pemimpin agama (ulama).”(Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161)

Kemudian Syaikh Al Utsaimin menjelaskan satu persatu gambaran firqah sesat tersebut secara singkat. Berikut ini intisari penjelasan beliau dengan beberapa tambahan dari sumber lain. Mereka itu adalah :

1. Rafidhah (Syi’ah), yaitu orang-orang yang melampaui batas dalam mengagungkan ahlul bait (keluarga Nabi). Mereka juga mengkafirkan orang-orang selain golongannya, baik itu dari kalangan para shahabat maupun yang lainnya. Ada juga di antara mereka yang menuduh para shahabat telah menjadi fasik sesudah wafatnya Nabi SAW. Mereka ini terdiri dari banyak sekte. Di antara mereka ada yang sangat ekstrim hingga berani mempertuhankan ‘Ali bin Abi Thalib, dan ada pula di antara mereka yang lebih rendah kesesatannya dibandingkan mereka ini.

2. Jahmiyah. Disebut demikian karena mereka adalah penganut paham Jahm bin Shofwan yang madzhabnya sesat. Madzhab mereka dalam masalah tauhid adalah menolak sifat-sifat Allah. Sedangkan madzhab mereka dalam masalah takdir menganut madzhab Jabariyah. Paham Jabriyah menganggap bahwa manusia adalah makhluk yang terpaksa dan tidak memiliki pilihan dalam mengerjakan kebaikan dan keburukan. Adapun dalam masalah keimanan madzhab mereka adalah menganut paham Murji’ah yang menyatakan bahwa iman itu cukup dengan pengakuan hati tanpa harus diikuti dengan ucapan dan amalan. Sehingga konsekuensi dari pendapat mereka ialah pelaku dosa besar adalah seorang mukmin yang sempurna imannya.

3. Khawarij. Mereka ini adalah orang-orang yang memberontak kepada khalifah ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu karena alasan pemutusan hukum. Di antara ciri pemahaman mereka ialah membolehkan pemberontakan kepada penguasa muslim dan mengkafirkan pelaku dosa besar. Mereka ini juga terbagi menjadi bersekte-sekte lagi.

4. Qadariyah. Mereka ini adalah orang-orang yang berpendapat menolak keberadaan takdir, sehingga mereka meyakini bahwa hamba memiliki kehendak bebas dan kemampuan berbuat yang terlepas sama sekali dari kehendak dan kekuasaan Allah. Pelopor pendapat ini adalah Ma’bad Al Juhani di akhir-akhir periode kehidupan para shahabat. Di antara mereka ada yang ekstrim dan ada yang tidak. Namun yang tidak ekstrim ini menyatakan bahwa terjadinya perbuatan hamba bukan karena kehendak, kekuasaan dan ciptaan Allah, jadi inipun sama sesatnya.

5. Murji’ah. Menurut mereka amal bukanlah bagian dari iman. Sehingga cukuplah iman itu dengan modal pengakuan hati saja. Konsekuensi pendapat mereka adalah pelaku dosa besar termasuk orang yang imannya sempurna. Meskipun dia melakukan kemaksiatan apapun dan meninggalkan ketaatan apapun. Madzhab mereka ini merupakan kebalikan dari madzhab Khawarij.

6. Mu’tazilah. Mereka adalah para pengikut Washil bin ‘Atha’ yang beri’tizal (menyempal) dari majelis pengajian Hasan al-Bashri. Dia menyatakan bahwa orang yang melakukan dosa besar itu di dunia dihukumi sebagai orang yang berada di antara dua posisi (manzilah baina manzilatain), tidak kafir tapi juga tidak beriman. Akan tetapi menurutnya di akhirat mereka akhirnya juga akan kekal di dalam Neraka. Tokoh lain yang mengikuti jejaknya adalah Amr bin ‘Ubaid. Madzhab mereka dalam masalah tauhid Asma’ wa Shifat adalah menolak (ta’thil) sebagaimana Jahmiyah. Dalam masalah takdir mereka menganut paham Qadariyah. Sedang dalam masalah pelaku dosa besar mereka menganggapnya tidak kafir tapi juga tidak beriman. Dengan dua prinsip terakhir ini pada hakikatnya mereka bertentangan dengan Jahmiyah. Karena Jahmiyah menganut paham Jabariyah dan menganggap dosa tidaklah membahayakan keimanan.

7. Karramiyah. Mereka adalah pengikut Muhammad bin Karram yang cenderung kepada madzhab Tasybih (penyerupaan sifat Allah dengan makhluk) dan mengikuti pendapat Murji’ah, mereka ini juga terdiri dari banyak sekte.

8. Kullabiyah. Mereka ini adalah pengikut Abdullah bin Sa’id bin Kullab al-Bashri. Mereka inilah yang mengeluarkan statemen tentang Tujuh Sifat Allah yang mereka tetapkan dengan akal. Kemudian kaum Asy’ariah (yang mengaku mengikuti Imam Abul Hasan al-Asy’ari) pada masa ini pun mengikuti jejak langkah mereka yang sesat itu. Perlu kita ketahui bahwa Imam Abul Hasan al-Asy’ari pada awalnya menganut paham Mu’tazilah sampai usia sekitar 40 tahun. Kemudian sesudah itu beliau bertaubat darinya dan membongkar kebatilan madzhab Mu’tazilah. Di tengah perjalanannya kembali kepada madzhab Salaf atau Ahlussunnah seperti yang sudah kita uraikan di atas (lihat Syarh Lum’atul I’tiqad, hal. 161-163)

Syaikh Abdur Razzaq al-Jaza’iri hafizhahullah mengatakan, “Dan firqah-firqah sesat tidak terbatas pada beberapa firqah yang sudah disebutkan ini saja. Karena ini adalah sebagiannya saja. Di antara firqah sesat lainnya adalah : Kaum Shufiyah dengan berbagai macam tarekatnya yang menyimpang, Kaum Syi’ah dengan sekte-sektenya, Kaum Mulahidah (atheis) dengan berbagai macam kelompoknya. Dan juga kelompok-kelompok yang gemar bertahazzub (bergolong-golongan) pada masa kini dengan berbagai macam alirannya. Hal ini juga berlaku di Indonesia seperti kelompok Lia Eden, Ahmadiyah maupun yang lainnya.


IV. MAROJI

1. Al-Ibanah ‘an Ushulid Diyanah, Abul Hasan Al Asy’ari, Darul Kutub Al Ilmiyyah, Beirut
2. Al Is’ad fi Syarhi Lum’atil I’tiqad
3. Al Kasyf 'an Manaahij Al Adillah, Markaz Dirasat Al Wahdah Al 'Arabiyyah, Abu Al Walid Ibnu Rusyd, Beirut, Cetakan ke-1
4. Al-Luma’ fir Rad Ahlul Zaigh wal Bida’, Abul Hasan Al Asy’ari, Darul Kutub Al-Ilmiyyah, Beirut 2000
5. ِAl Munjid fil Lughah wal A’lam
6. Al-Mu'tazilah, Al Ahliyah Lil Nasyr Wat- tawzi', Dr. Zuhdi Jarullah, Cairo, cetakan ke-1, Tahun 1974
7. Dhuha Al Islam III, Ahmad Amin
8. Fi Ilmil Kalam, Dirasah Falsafiah Li Ara’il Firaq Al Islamiyah Fii Ushuliddiin, Ahmad Mahmud Shubhi, Darun Nahdhah Al Arabiyyah, Beirut 1981
9. Gelombang Perubahan dalam Islam, Studi Tentang Fundamentalisme Islam, Fazlur Rahman, Rajawali Press, Jakarta 2002
10. Nasy’atul Asy’ariyyah Wa Tathawwuruha, Jalal Muhammad Abdul Hamid Musa, Darul Kutub Al Lubnani, Beirut 1982
11. Pemikiran Teologi dan Filsafat Islam, Montgomery Watt
12. Post Mu’tazilah, Richard C. Martin dkk, Ircishaod, Yogyakarta 2002
13. Sejarah, Ajaran, dan Peranannya dalam Peradaban Umat Manusia, Abu Su’ud, Rineka Cipta, Jakarta 2003
14. Shafwatul Bayan Li Ma’anil Qur’anil Karim, Khalid Abdurrahman Al ‘Ik
15. Syarh Al Aqidah Al Wasithiyah Lisyaikhil Islam Ibni Taimiyah, Said bin Ali Wahf al Qahthany
16. Syarh Lum’atul I’tiqad, Syaikh al-‘Utsaimin
17. Tahdzib Syarh Ath Thahawiyah, Abdul Akhir Hammad Al Ghunaimi, Pustaka At Tibyan, Solo 2001
18. Tamiid Littarikh Al Falsafah Al Islaamiyyah, Al Haiah Al Mishriyah Al 'Amah Lil kitaab, Dr. Musthafa 'Abdurraziq, Kairo 2007
19. Tafsir Al Qur’an Al Azhim, Imam Ibnu Katsir
20. Tarikh Al Firaq Al Islamiyyah Wa Nasy’at Ilm Al Kalam ‘Indal Muslimin, Ali M. Al Ghurabi
21. Teologi Islam; Aliran-Aliran Sejarah, Analisa, Perbandingan, Harun Nasution .
22. Majalah Al Furqon Edisi 6 Tahun V/Muharram 1427
23. Majalah As Sunnah No. 03/IX/1426 H/2005
24. Majalah As Sunnah No. 10/I/1415 H/1994
25. Makalah Kajian Islam Otentik, Madzhab-Madzhab Dalam Islam, Muchtar Yara
26. Makalah Satu Islam Beragam Madzhab, Dr. Abdul Munir Mulkhan
27. http://www.eramuslim.com/ustadz/aqd/6c21145927-paham-asy039ari.htm

Tidak ada komentar:

Posting Komentar